Sabtu, 20 Maret 2010

KELAINAN NEUROLOGIK PADA KEHAMILAN

KELAINAN NEUROLOGIK PADA KEHAMILAN

Kelainan neurologik yang sering dijumpai pada wanita usia reproduktif, dapat pula dijumpai pada wanita hamil.1,2,3 Gejala yang ditemukan sangat kompleks, dapat melibatkan kelainan fungsi luhur maupun kelainan fungsi neuromuskuler, oleh karena itu harus dapat dibedakan dari penyakit psikiatrik.
Diagnosis dan penanganan penyakit neurologik selama kehamilan seringkali sangat sulit karena keluhan yang dialami dapat saling tumpang-tindih dengan keluhan yang umum ditemukan pada kehamilan, di samping itu juga karena adanya konsekuensi yang berbahaya dari penyakit ini, serta efek pengobatan terhadap ibu terhadap janin.2 Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama akan memberikan dasar untuk menegakkan diagnosis yang akurat untuk penanganan lebih lanjut.
Prosedur pencitraan (imaging) harus dipertimbangkan bila diduga ada lesi pada sistem saraf pusat. Keterpaparan sinar X terhadap janin bila kurang dari 1 rad masih dianggap aman. CT otak yang memakai sinar X dan arteriografi bukan merupakan suatu kontraindikasi mutlak untuk mengevaluasi penyakit ibu. Perut dapat dilindungi dari keterpaparan sinar X selama prosedur neuroradiologik. Bahan kontras intravena dapat digunakan tanpa efek nyeri. MRI yang tanpa melibatkan radiasi ionisasi sangat bermanfaat untuk membantu pemeriksaan selama kehamilan, sebab diketahui tidak berisiko terhadap janin. Penggunaan myelografi yang melibatkan radiasi dosis tinggi sebagian telah digantikan oleh CT dan MRI, risiko terbesar dari myelografi terutama pada awal kehamilan. 3
Penanganan yang optimal dan efektif membutuhkan kerja sama beberapa disiplin ilmu antara lain ahli obstetri atau spesialis fetomaternal dan ahli neurologi. Keterlibatan ahli anestesia dibutuhkan pada saat persalinan untuk memberikan analgesia atau anestesia yang tepat. Keterlibatan spesialis anak atau spesialis perinatologi dibutuhkan lebih awal untuk mengantisipasi kebutuhan neonatal dan perawatan bayi baru lahir yang adekuat.2
A.
A. NYERI KEPALA (HEADAACHE)
Nyeri kepala cukup sering ditemukan pada kehamilan, umumnya jinak tapi kadang-kadang serius bilamana nyeri kepala tersebut baru timbul sewaktu hamil, untuk itu perlu dipertimbangkan keadaan serius yang mengakibatkan nyeri kepala tersebut antara lain preeklampsia, eklampsia, hipertensi tak terkontrol, pheochromocytoma, perdarahan subarakhnoid, pseudotumor serebri, tumor serebri, thrombosis vena serebral, infeksi otak antara lain ensefaliti dan meningitis.4
Nyeri kepala yang paling sering ditemukan pada kehamilan adalah nyeri kepala tipe tegang / NKTT (Tension type headache) yaitu nyeri kepala kronik yang dirasakan seperti diikat, ditindih barang berat atau kadang kadang berwujud rasa tidak enak dikepala, umumnya bilateral, intensitasnya dari ringan sampai sedang. NKTT sering merupakan bagian dari gejala depresi dan stres situasional, selain itu dapat sebagai tanda depresi postpartum. Sebaliknya migren merupakan nyeri kepala unilateral, berdenyut denyut dengan intensitas sedang sampai berat disertai mual, fotofobia atau fonofobia, nyeri kepala diperberat dengan aktifitas fisik, gejala tambahan meliputi nyeri kepala saat menstruasi. Insidens migren 3 – 5 % dari populasi umum namun pada 80 % kasus membaik saat penderita hamil.1,5
Diagnosis NKTT dan migren ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat dan pemeriksaan fisik yang komprehensif. Pemeriksaan CT. Scan kepala sebaiknya dihindari kecuali dicurigai ada kelainan struktural intrakranial.5
Secara umum tujuan penanganan nyeri kepala adalah mengidentifikasi etiologi atau faktor predisposisi, mengurangi / menghilangkan nyeri dengan obat yang kurang toksik terhadap ibu dan janin, dan mengurangi berat dan frekuensi serangan.5 Pada NKTT kadang-kadang teratasi dengan analgetik sederhana yaitu Acetaminophen namun pada NKTT rekuren diperlukan pemeriksaan psikologik dan pemberian profilaksis antidepresan trisiklik semisal Amitriptyline sangat menolong dan tidak menyebabkan cacat bawaan. Penggunaan Aspirin dan Benzodiasepin reguler sebaiknya dihindari.
Kenyataan bahwa sebagian besar obat dapat melewati sawar plasenta dan dapat berpengaruh terhadap janin menyebabkan kesulitan dalam pengobatan migrain selama kehamilan.2 Penderita dengan fungsi harian yang tetap berjalan normal tidak membutuhkan penanganan yang bermakna, pengobatan nonfarmakologik dianjurkan. Sejumlah strategi seperti ice-pack, pemijatan, tidur dan biofeedback dapat meredakan serangan.2,6
Pada migren pemberian preparat ergot dan sumatripan merupakan kontraindikasi selama kehamilan karena dapat meningkatkan kontraksi uterus dan gangguan vaskuler pada janin, Pemberian chlorpromazine 0,1 mg/ kg berat badan secara intravena sangat efektif dalam penanganan migren namun termasuk kelas C dalam obat untuk kehamilan. Acetaminophen atau acetaminophen dengan codein juga dapat digunakan dalam kehamilan, kadang-kadang meperidine, morfin dan hidromorfin juga dapat digunakan jika terjadi serangan hebat. Aspirin dan NSAID sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan konstriksi duktus arteriosus janin dan oligohidramnion khususnya pada tahap akhir kehamilan. Umumnya migren rekuren dapat diobati dengan propanolol atau “Calcium channel blockers”, namun demikian karena propranolol dapat melewati plasenta dan mengakibatkan bradikardi pada janin maka penggunaannya dibatasi pada migren refrakter.5

B. GANGGUAN NEUROMUSKULER

KRAM OTOT
Diperkirakan 25 % ibu hamil mengalami kram otot setiap pagi saat memulai aktivitas selama trimester akhir kehamilan. Kekurangan natrium (garam), kalium dan kondisi metabolik lainnya dapat menyebabkan kram. Tablet magnesium laktat dan magnesium sitrat (122 mg pada pagi hari dan 244 mg pada malam hari) dapat memberi perbaikan pada  80 % penderita. Kalsium carbonat atau glukonat oral, 500 mg diberikan 3 –4 kali sehari juga dapat memeberi perbaikan namun placebo tampaknya efektif pada 40 % penderita.4
RESTLESS LEGS
Keluhan penderita restless legs bukan nyeri melainkan perasaan tidak nyaman yang terus menerus bilamana tungkai diam oleh karena itu penderita menggerak-gerakan atau menggoyang-goyangkan tungkainya terus menerus sehingga tampak penderita seperti gelisah.
Pada ibu hamil diperkirakan kurang lebih 10 – 30 % mengalami Sindroma Restless Legs selama trimester akhir kehamilan. Gangguan ini timbul 30 menit setelah penderita baring. Komsumsi kafein yang berlebihan dan anemia memicu timbulnya sindroma Restless Legs tersebut. Suplemen asam folat peroral (500 mg perhari) menurunkan frekuensi Restless Leg. Berjalan–jalan dan mandi air hangat sebelum istirahat dapat memperpanjang periode laten dan cukup untuk menolong penderita tertidur. Untuk Restless Leg berat selama kehamilan , pemberian Carbodopa / L-Dopa 25mg / 100mg dosis tunggal mungkin efektif menanggulangi sindroma ini selain itu potensi teratogeniknya cukup rendah.4

MIASTENIA GRAVIS
Miastenia gravis adalah suatu penyakit autoimmun yang ditandai oleh kelemahan atau kelumpuhan otot-otot lurik setelah melakukan aktivitas dan akan pulih kekuatannya setelah istirahat beberapa saat yaitu beberapa menit sampai beberapa jam, akibat penurunan jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction. Gambaran klinik MG sangat jelas yaitu dari kelemahan lokal yang ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeleruh yang fatal. Kira-kira 33 % hanya terdapat kelainan okular disertai kelemahan otot lainnya. Kelemahan ekstremitas tanpa disertai kelainan okular jarang dijumpai, yang lainnya kira-kira 20 % ditemukan kesulitan mengunyah dan menelan.
Selama kehamilan mempunyai pengaruh yang bervariasi terhadap MG, 1/3 dapat memburuk, 1/3 menetap atau 1/3 membaik. Dari semua penderita MG yang eksaserbasi, penelitian terakhir melaporkan 41 % terjadi selama kehamilan dan 30 % terjadi pada waktu nifas. MG meningkatkan risiko abortus spontan dan 3 – 10 % menyebabkan kematian ibu. Timbulnya MG pada suatu kehamilan bukan merupakan prediksi bahwa akan timbul pada kehamilan berikutnya. Aborsi tidak menyebabkan remisi, kurang lebih setengahnya memburuk pada saat puerperium. Minimal 12 - 19 % bayi yang lahir dari ibu MG menderita MG neonatal transitory dan harus dimonitoor secara ketat paling kurang selama 4 hari dapat berlangsung 10 sampai dengan 15 minggu, gejala yang timbul antara lain gangguan menelan (87 %), kelemahan (69 %), kesulitan pernapasan (65 %), feeble cry (60 %)dan parese facialis (54 %).
Penanganan MG pada Kehamilan sama dengan MG tanpa kehamilan, kurangnya data yang tersedia tentang keamanan pemberian immunoglobulin intravena selama kehamilan. Perlu diingat bahwa magnesium sulfat merupakan kontra indikasi pada MG dengan kehamilan karena akan meningkatkan kelemahan otot dengan menurunkan pelepasan asetilkolin dan menurunkan kepekaan membran postsinaps. Terapi alternatif pada penderita preeklampsia dan eklampsia dengan MG adalah benzodiazepin atau phenobarbital, phenitoin juga harus hati-hati pada MG
Menyusui diperbolehkan pada ibu dengan MG namun Cyclosporine dan Azathioprine diekskresi melalui air susu dan memberikan risiko immunosupresif dan potensi tumorigenik oleh karena itu sebaiknya dihindari. Kortikosteroid juga disekresi melalui air susu tetapi dalam jumlah yang kecil, Obat anticholinergic dalam dosis besar yang diminum oleh ibu dengan MG dapat menyebabkan gangguan gastrointestinal pada bayi baru lahir yang menyusui

MYOPATI
Miopati merupakan suatu kelainan yang ditandai dengan terdapatnya fungsi abnormal otot (merupakan perubahan patologik primer) tanpa adanya bukti denervasi pada studi klinik, histologik atau elektrik. Abnormalitas tersebut apakah biokimiawi, patologik atau elektrofisiologik terletak pada serabut otot atau jaringan interstisial sekitarnya.

DISTROPI MYOTONIK
Myotonia merupakan kelainan genetik autosomal yang bersifat dominan yang ditandai dengan kelemahan otot dan wasting, keadaan ini disebabkan karena relaksasi yang tertunda dari otot yang terkena akibat abnormalitas membran serabut otot. Fenomena klinik dicirikan berupa kontraksi otot yang berkepanjangan mengikuti kontraksi volunter, pukulan (mekanik) atau elektrik pada otot tersebut, keluhan penderita berupa tangan kaku, tidak mampu mengendorkan genggaman, gangguan bicara, atrofi maseter dan sternokleidomastoideus, ptosis, katarak dan suara melemah.
Myotonia baik yang merupakan distropi myopati maupun myotonia congenita, sering meningkat selama pertengahan trimester dua kehamilan. myotonic dystrophy ada kaitannya dengan penyakit jantung, dengan gejala berupa gangguan sistem konduksi, aritma atau penyakit jantung kongestif, sedangkan myotonic dystrophy kongenital umumnya bersifat hipotonia dan kelemahan yang menyeluruh. Otot-otot pernapasan mungkin terkena sehingga menyebabkan kesulitan bernapas pada neonatus. Kematian neonatus sering ditemukan, tetapi bila dapat bertahan dalam minggu-minggu awal kelahiran, umumnya akan memperlihatkan perbaikan. Walaupun demikian, prognosis jangka panjang umumnya buruk. Myotonic distrophy kongenital umumnya ditemukan pada bayi dengan ibu yang mengalami myotonic dystrophy.
Kontraksi uterus yang tidak efektif, persalinan prematur dan presentasi bokong sering merupakan komplikasi dalam persalinan. Oxytocin dapat merangsang uterus yang miotonik untuk memperbaiki kontraksi. Anaestesi regional lebih disukai daripada anaestesi umum. Setelah persalinan disfungsi uteri hipotonik menyebabkan meningkatnya risiko retensio plasenta dan perdarahan post partum. Setengah dari anak yang lahir dari ibu dengan myotonia mewarisi kelainan tersebut.
Penanganan sebelum kehamilan dan antenatal berupa pemeriksaan EKG dan tes fungsi paru harus dilakukan untuk mendeteksi adanya tidaknya gejala dan tanda aritmia. Aktivitas fisik sebaiknya dikurangi untuk memperlambat progresifitas dari gejala. Konseling genetik dan pemeriksaan DNA sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan USG secara serial dilakukan untuk menghitung volume cairan amnion
Selain risiko terjadinya persalinan prematur, disfungsi otot polos uterus dan gangguan proses persalinan. Hal ini dapat diatasi dengan augmenatasi his dengan oksitoksin dan biasanya memberikan hasil yang efektif. Mempersingkat kala II dilakukan pada wanita dengan kelemahan yang nyata. Perdarahan postpartum merupakan komplikasi yang tersering dan harus diantisipasi.2
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat terjadi dan harus dipertimbangkan dalam pemberian analgesia / anestesia. Anestesia lokal atau regional lebih disukai. Adanya risiko terjadi apneu, membuat bahan narkotik sebaiknya digunakan dengan hati-hati. Bahan penghambat neuromuskuler non-depolarisasi sebaiknya dihindari sebab kontraktur otot generalisata menyulitkan penanganan jalan napas.2
Ahli pediatrik harus berada di rang bersalin untuk memberikan resusitasi dan ventilasi neonatal.2

MYOPATI INFLAMATORIK
Kehamilan memicu terjadinya polymyositis yaitu peradangan otot sebagai akibat proses imunologik. Diperkirakan lebih dari setengah kehamilan pada ibu yang menderita miopati inflamasi berakhir dengan aborsi, lahir mati atau kematian neonatal. Banyak obat-obat immunosupresif menyebabkan gangguan yang berbahaya pada janin , namun bayi dapat hidup dengan baik setelah persalinan.

NEUROPATI
BELL’S PALSY
Bell’s Palsy atau prosoplegia adalah Parese facialis tipe perifer terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui atau tidak menyertai penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis.
Penyakit ini dapat mengenai semua umur namun demikian lebih sering terjadi pada umur 20 – 50 tahun. Pada kehamilan trimester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya penyakit ini ditemukan 4 kali lebih banyak. Penyakit ini biasanya sembuh dengan sendirinya namun terapi kortikosteroid jangka pendek tampaknya memperbaiki prognosis pasien dengan parese facialis yang komplit.
Pemeriksaan elektromiografi dapat membentu untuk menilai prognosis, jika denervasi melebihi 10 hari maka penyembuhan lebih lama bahkan mungkin sembuh tidak sempurna.

CARPAL TUNNEL SYNDROME
Carpal tunnel syndrome terjadi akibat kompresi atau terjebaknya nervus medianus pada carpal tunnel dipergelangan tangan. Diperkirakan kurang lebih 1/5 ibu hamil mengalami CTS sewaktu hamil utamanya pada akhir trimester ketiga, gejalanya beruparasa baal / parestesia pada jari ketiga dan keempat tangan pada malam hari saat ingin tidur. Faktor predisposisi terhadap keadaan ini adalah peningkatan berat badan yang berlebihan dan retensi cairan. Oleh karena ibu hamil dengan sindroma carpal Tunnel dapat diharapkan gejalanya membaik setelah persalinan maka terapi konsevatif merupakan pilihan berupa istirahat dan membebat pergelangan tangan



MERALGIA PARESTHETICA
Parastesia unilateral atau bilateral pada distribusi nervus cutaneus femoralis lateralis akibat kompresi saraf itu di bawah ligamentun inguinale. Keluhan ini dapat timbul pada usia kehamilan sekitar minggu ke 13 sesuai dengan meningkatnya pembesaran abdominal berupa rasa baal, tidak enak, rasa terbakar atau nyeri pada paha bagian lateral dan tidak ditemukan defisit neurologik lainnya, keluhan ini diperburuk pada posisi berdiri atau berjalan. Obesitas, lordosis dan partus lama dapat memicu timbulnya penyakit tersebut.
Selama kehamilan dapat diatasi dengan duduk. Parestesia umumnya membaik dalam 3 bulan setelah persalinan. Pemberian carbamazepine, amitriptilin atau injeksi steroid – lidokain dapat berguna.

GUILLIAN BARRE SYNDROME
Guillian Barre Syndrome (GBS) suatu kelainan immunobiologik baik secara primary immune response maupun immune mediated process yang ditandai oleh kelemahan / kelumpuhan otot ekstremitas yang akut dan progresif biasanya muncul setelah infeksi. Penyebab infeksi umumnya virus dari kelompok herpes namun dapat pula didahului oleh infeksi bakteri, vaksinasi, gangguan endokrin, tindakan operasi anaestesi dan sebagainya.
GBS yang timbul bersamaan dengan kehamilan merupakan suatu koinsidental. GBS sendiri secara umum tidak dipengaruhi oleh kehamilan demikian pula sebaliknya kehamilan dan persalinan tidak dipengaruhi oleh GBS. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita GBS umumnya tidak terpengaruh. Pemberian plasmapheresis cukup aman selama kehamilan meskipun ibu hamil khususnya dengan disfungsi autonomik dapat menjadi sensitif terhadap perubahan dalam volume plasma.

POLYNEUROPATI YANG LAIN
Angka kekambuhan “chronic Inflamatory demyelinating polyneuropathy” selama trimester ketiga kehamilan dan puerpuerium diperkirakan tiga kali lebih besar dari pada yang diduga, sebaliknya bayi tidak terpengaruh. Untuk penyebab yang tidak diketahui perburukan dapat terjadi dengan pemakaian kontrasepsi oral pada saat post partum.
Diperkirakan kurang lebih setengah perempuan dengan penyakit “Charcot Marie- Tooth tipe 1 yang onset terjadi pada masa kanak-kanak, penyakitnya memburuk selama kehamilan. Risiko perburukan selama kehamilan dapat berkurang jika onset terjadinya setelah dewasa. Perbaikan dapat terjadi setelah persalinan. Kehamilan maupun hasil kehamilan tidak terpengaruh.

PARESE OBSTETRIK MATERNAL
Kepala bayi, pemakaian forcep dan posisi yang tidak sesuai pada sandaran tungkai dapat menyebabkan jebakan saraf perifer (entrapment of peripheral nerve) intrapartum. Disproporsi sefalopelvik dan dystosia sering mendahului penyakit ini. Umumnya ibu hamil yang terkena adalah primipara dengan keluhan nyeri tajam atau terbakar.
Parese obstetrik maternal yang tersering adalah iritasi / kompresi unilateral pada pleksus lumbosacral (radiks L4 dan L5) oleh kening janin saat melewati tepi posterior pelvis. Perbaikan biasanya terjadi dalam waktu 6 minggu.

C. GANGGUAN CEREBRAL
CHOREA GRAVIDARUM
Chorea gravidarum adalah suatu gerakan involunter berupa gangguan hiperkinetik yang ditandai dengan gerakan tungkai yang kasar, cepat, tidak dapat dipertahankan, tanpa tujuan, ireguler dan tidak berirama.
Penyebab yang paling sering adalah penyakit jantung rematik, sistemik lupus eritamatosus, antiphospholipid antibodi. Selain itu dapat disebabkan oleh Wilson”s disease, Cerebrovascular disease, Meningovascular syphilis, Hyperthyroidism, Neuroacanthocytosis, Huntington”s disease, Adult onset Tay Sachs, obat-obatan : Antiepileptic drug, Neuroleptic, Theophylline derivates, Lithium, Tricyclic antidepressants, Lead toxicity, Amphetamines, Cocaine, Metaclopramide,
Chorea gravidarum biasanya timbul pada trimester kedua kehamilan dan sembuh spontan dalam waktu minggu sampai bulan, sering dalam waktu singkat setelah melahirkan. Pilihan terapi tergantung pada penyebab dan beratnya penyakit. Haloperidol dan kortikosteroid dapat digunakan untuk terapi jangka pendek.

MULTIPLE SKLEROSIS
Multiple sklerosis (MS) merupakan suatu kelainan demyelinating yang mengenai sistem saraf pusat pada tingkat yang berbeda dan pada saat yang bervariasi. Kelainan ini sering ditemukan pada dewasa muda, dengan puncak insidens pada usia 30 tahun dan wanita 2 kali lebih banyak dari pada pria.2,6
Kelainan ini mungkin disebabkan karena kelainan autoimmun. Ditandai dengan disfungsi neurologik baik fokal maupun multifokal yang bersifat serangan yang rekuren dengan ekserbasi dan remisi.1
Gejala yang ada berupa diplopia yang tiba-tiba, vertigo, gangguan keseimbangan pada saat berjalan, inkontinensia urin, kehilangan penglihatan dan kelelahan. 2 Hampir 40% penertita mengalami neuritits optik selama perjalanan penyakit ini. MS tanpa komplikasi mungkin hanya mempunyai sedikit pengaruh pada kehamilan. Angka kekambuhan selama kehamilan menurun sejalan dengan bertambahnya trimester kehamilan. Anak-anak dengan ibu menderita MS mempunyai risiko 3% untuk menderita MS, sedang dari ibu yang normal 0,1%.1,2
Kurangnya data yang tersedia tentang keamanan obat-obatan baru (seperti interferon) terhadap janin yang digunakan untuk mencegah kekambuhan. Anaestesi epidural dapat digunakan, uterus gravid mungkin memperburuk fungsi kandung kemih dan usus. Fluktuasi spastisitas selama kehamilan sering meningkat seiring meningkatnya kontraksi uterus.
Penanganan sebelum kehamilan berupa evaluasi sebelum konsepsi dan konseling harus dilakukan dengan menekankan pada aktivitas penyakit. Kenyataan bahwa kebanyakan penderita mengalami perbaikan seiring bertambahnya trimester kehamilan, sehingga dipertimbangkan untuk menghentikan pengobatan atau mengurangi dosis seminimal mungkin. Penderita juga harus diberitahu sebelumnya bahwa keturunan mereka mempunyai risiko untuk menderita penyakit yang sama. Tidak ada pengobatan yang efektif untuk penyakit ini. Kortikosteroid hanya dapat mengurangi flares akut yang berat, tetapi tidak dapat memberikan perbaikan yang menetap.1 Pengobatan yang digunakan untuk penyakit ini adalah Copolymer 1 atau glatiramer acetat, interferon ß1b dan interferon ß1a, walaupun data FDA mengenai penggunaan obat ini pada kehamilan sangat kurang. Selain itu kortikosteroid dapat juga diberikan.1,2,6
Pada masa antenatal penderita harus diawasi terhadap kemungkinan meningkatnya aktivitas penyakit dan perhatian khusus pada risiko pengobatan karena kurangnya informasi. Bila terdapat gangguan pada saluran kemih, maka perlu dilakukan skreening untuk pemeriksaan bakteriuri. Terapi fisik dan latihan peregangan harus tetap dilakukan.2
Pada masa persalinan dan pasca persalinan, MS tidak memberikan pengaruh terrhadap proses persalinan. Pemberian kortikosteroid jangka panjang pada masa kehamilan membutuhkan penurunan dosis selama persalinan. Dosis yang lazim digunakan adalah 100 mg perenteral setiap 8 jam. Kelelahan ibu pada kala II dapat diatasi dengan melakukan forsep ataupun vakum ekstraksi. Dulu, penggunaan anestesia spinal dihindari karena dikhawatirkan meningkatkan risiko eksaserbasi, tetapi tidak ada data yang mendukung hal tersebut. Dengan demikian pemberian anestesia spinal, epidural, dan anestesia umum dapat diberikan. Menyusui tetap dianjurkan, karena tidak akan meningkatkan frekuensi atau memperberat relaps postpartum.1,2,6

TUMOR OTAK
Umumnya tumor otak muncul pada pertengahan kedua kehamilan. Glioma maligna supratentorial dan banyak tumor infratentorial harus dioperasi selama kehamilan. Meningioma memiliki reseptor estrogen, hal ini menerangkan kekerapan tumor ini membesar selama kehamilan, Hemangioma spinalis tampaknya lebih cendrung ruptur selama kehamilan. Gejala gejala meningioma, tumor vaskuler, neurinoma akustik dapat remisi pada saat post partum. Karena herniasi batang otak dapat terjadi selama kehamilan, umumnya penderita melahirkan melalui tindakan sectio sesarea. Indikasi untuk menghentikan kehamilan sebelum aterm bila ditemukan adanya tanda-tanda peningkatan intrakranial yaitu gangguan penglihatan akibat adanya edema papil.

TUMOR HIPOFISE
Hipofise normal dan tumor hipofise ber tumbuh selama kehamilan. Mikroadenoma yang kecil jarang membesar sampai menimbulkan gejala tertentu. Ibu dengan makroadenoma sebaiknya disarankan untuk operasi transsfenoidal sebelum kehamilan atau mendapat terapi bromokriptin selama kehamilan. pemeriksaan lapangan penglihatan dan ketajaman penglihatan sebaiknya dilakukan setiap bulan. Monitor kadar prolaktin tidak banyak manfaatnya. Pada ibu dengan makroprolaktinoma simptomatik selama kehamilan, terapi pilihan adalah bromokriptin, terminasi kehamilan atau operasi.
Bromokriptin mengurangi ukuran tumor dalam waktu 6 minggu – 6 bulan . Obat ini tidak berefek teratogenik, namun menekan laktasi. Ibu dengan hiperprolaktinemia yang tidak diterapi sering anovulasi dan infertil. Terapi dengan agonis Dopamin menghasilkan ovulasi pada 90% penderita.

KORIOKARSINOMA
Manifestasi serebral sering merupakan gejala dari tumor ini. Metastasis pertama ke paru dan kemudian ke otak yang dapat terjadi berbulan-bulan setelah kehamilan mola atau abortus, tetapi kira-kira 15 % dari tumor ini timbul setelah kehamilan normal. Gambaran awal adalah kejang, perdarahan, infark, defisit neurologis yang progreasif cepat. Tumor dapat menginvasi pleksus sakralis, cauda equina atau canalis spinalis. Pengobatan dengan kemoterapi, radiasi dan operasi dapat berhasil jika diagnosis ditegakkan sedini mungkin.

HIPERTENSI INTRAKRANIAL IDIOPATIK (PSEUDO TUMOR SEREBRI)
Hipertensi Intrakranial Idiopatik (HII) memburuk pada kehamilan. Sebaiknya menunda kehamilan sampai semua gejala hilang. Pengakhiran kehamilan tidak dianjurkan. Bayi bisa sehat meskipun HII timbul sebelum atau selama kehamilan. HII biasanya berkembang pada kehamilan 14 minggu dan menghilang setelah 1-3 bulan, tetapi kadang-kadang menetap sampai awal puerpuralis. Penatalaksanaan sama dengan wanita tidak hamil yaitu melakukan punksi lumbal untuk menurunkan tekanan intra kranial dan mengurangi nyeri kepala, Acetazolamide oral, 250 mg diberikan 2 kali sehari, selain itu elektolit hendak dimonitor untuk menghindari acidosis metabolik. Biasanya tidak kambuh lagi pada kehamilan berikutnya.

EPILEPSI
Insidens kejang pada kehamilan adalah 0,3 – 0,6 %. Kira-kira 1/3 kasus frekuensi serangan meningkat, 1/3 tidak berubah dan 1/3 membaik pada saat kehamilan. Meningkatnya frekuensi serangan terutama terjadi dalam trimester terakhir dan terutama pada penderta epilepsi berat.
Perubahan farmakokinetik antikonvulsan selama kehamilan dianggap sebagai penyebab meningkatnya frekuensi kejang selama kehamilan. Metabolisme hepar yang meningkat, absorpsi gastrointestinal yang menurun serta peningkatan konsentrasi estrogen dan progesteron mempercepat metabolisme enzim. Peningkatan klirens ginjal dan volume distribusi menurunkan konsentrasi obat dalam serum, perubahan ini diimbangi dengan penurunan protein-binding site yang disebabkan oleh penurunan albumin plasma oleh karena itu Kadar konsentrasi obat antiepileptik serum seharusnya dimonitor paling kurang 1 kali tiap trimester, dalam bulan terakhir kehamilan dan dalam 8 minggu postpartum. Pemantauan kadar konsentrasi obat anti epileptik harus dilakukan lebih sering pada frekuensi kejang yang tinggi, terdapat tanda dan gejala toksisitas, adanya kecurigaan penderita tidak patuh, riwayat peningkatan frekuensi kejang atau status epileptik sebelum hamil. Pengaturan pengobatan harus dibuat untuk mengontrol kejang dan mempertahankan konsentrasi serum pada rentang terapeutik saat mendekati aterm. Untuk menghindari toksistas dosis obat sebaiknya diturunkan setelah 1 bulan postpartum.7
Selama kehamilan konsentrasi Carbamazepin, fenitoin, valproic acid dan fenobarbital menurun. Hanya konssentrasi fenobarbital bebas menurun, dan konsentrasi valproic acid bebas jelas meningkat.


Penanganan Epilepsi Pada Kehamilan
Protokol yang disetujui bersama dalam penanganan wanita dengan epilepsi selama kehamilan adalah :
1. Gunakan obat pilihan pertama yang sesuai jenis kejang dan sindrom epilepsi.
2. Gunakan prinsip monoterapi dengan dosis dan kadar dalam plasma yang paling rendah dan efektif untuk melindungi terhadap kejang tonik-klonik.
3. Hindari penggunaan valproate atau carbamazepine apabila ada riwayat keluarga tentang defek neural tube.
4. Hindari politerapi, khususnya kombinasi dengan valproate, carbamazepine dan fenobarbital.
5. Monitor kadar OAE dalam plasma secara teratur dan apabila mungkin, periksalah kadar OAE bebas atau terikat.
6. Pemakaian suplemen asam folat setiap hari dan pastikan kadar plasma normal dan kadar folat sel darah merah selama periode organogenesis pada trimester pertama.
7. Apabila diberikan valproat, hindarilah kadar dalam plasma yang tinggi. Bagilah obat tadi 3 – 4 kali pemberian setiap harinya.
8. Pada kasus-kasus yang diberi valproat atau carbamazepine, tawarkanlah untuk pemeriksaan alfa fetoprotein pada umur kehamilan 16 minggu dan pemeriksaan ultrasonografi pada kehamilan 18 – 19 minggu, untuk mencari defek neuraltube. Ultrasonografi pada kehamilan 22-24 minggu dapat mendeteksi sumbing dan kelainan jantung.

Komplikasi janin
Secara umum kejang tonik klonik dapat menyebabkan “transient fetal asphyxia” dan trauma akibat terjatuh yang dapat menyebabkan edema pada fetus dan persalinan prematur. Bayi baru lahir yang terpapar obat anti konvulsan selama kehamilan berisiko untuk penyakit perdarahan. Defisiensi Vit. K yang tergantung faktor-faktor pembekuan berhubungan dengan pemberian antikonvulsan terutama politerapi, oleh karena itu pemberian Vit .K intra muskuler secara rutin pada bayi baru lahir sangat diperlukan. Risiko malformasi kongenital pada bayi baru lahir dengan ibu yang epilepsi adalah 5-7%, sebaning dengan 1-3% dari keseluruhan populasi.

Status epileptikus2
Status epileptikus merupakan suatu keadaan darurat dan membutuhkn perawatan rumah sakit dan pengobatan. Faktor penyebab seperti infeksi atau metabolik harus dipikirkan, dan mengontrol kejang harus secepatnya dilakukan.

Penanganan Status Epileptikus
1. Pasang infus, pemeriksaan darah untuk menilai gambaran toksikologi, glukosa, BUN, elektorlit, hitung jenis darah dan kadar antikonvulsan darah, analisa gas darah arterial dan pH darah. Monitor tanda vital dengan elektrokardiogram. Monitor keadaan janin.
2. Pemberian NaCL . Thiamin 100 mg im. Bolus 50 mL glukosa 50%.
3. Pemberian diazepam iv tidak lebih cepat 2 mg/menit sampai kejang berhenti atau total 20 mg telah diberikan. Infus phenytoin tidak lebih cepat dari 50 mg/menit sampai total dosis 18 mg/kgBB Infus dipelankan jika terjadi bradikardi atau hipotensi.
4. Intubasi endotrakheal. Dizepam drips : larutkan 50 mg dalam 500 cc dekstrose 5% dengan kecepatan 5-10 mg/jam, titrasi kecepatan untuk mengontrol kejang. Dapat digunakan Lorazepam. Loading dose Phenobarbital dapat diberikan sebagai pengganti diazepam tetapi kedua obat jangan diberikan bersama-sama sebab depresi pernapasan yang berat dapat terjadi.
5. Jika kejang menetap, beri halothane atau anestesia inhalasi lain, dengan blokade neuromuskuler Lidokain iv 50 – 100 mg mungkin perlu dicoba pertama kali. Jika efektif infus lidokain 1-2mg/menit diberikan.

PENYAKIT SEREBROVASKULER
Diperkirakan 5 –10 %, kematian ibu karena stroke. Insidens stroke pada kehamilan sangat bervariasi dari 1 per 481 kelahiran sampai 0 / 26.099 lahir hidup. Pada RS parkland, 20 % penderita dengan stroke akut meninggal dan 40 % yang hidup dengan defisit neurologis. Dari The maternal Mortality Collaborative Report dilaporkan dari 601 kematian ibu dari tahun 1980 –1985, 8,5 % diakibatkan oleh stroke. Angka kematian stroke iskemik dengan kehamilan adalah 30 % dibanding dengan kelompok stroke tanpa kehamilan hanya 10 %.

STROKE ISKEMIK
Oklusi arteri akuta terjadi pad 60 –80 % stroke iskemik dalam periode kehamilan dan post partum. Stroke iskemik lebih sering terjadi pada trimester kedua, ketiga dan minggu pertama post partum, sebaliknya trombosis vena lebih sering pada awal postpartum.
Faktor risiko untuk iskemik stroke meliputi hipertensi, diabetes mellitus, dan hiperlipidemia. Penyebab dari stroke iskemik belum dimengerti secara utuh, tetapi stroke iskemik dalam kehamilan dikaitkan dengan hiperkoagubilitas dan antibodi antiphospholipid diduga sebagai faktor yang turut berperan. Oklusi arteri serebral akuta berhubungan dengan arteriopati, kelainan darah emboli kardiogenik dari sumber nonkardiak dan kondisi lain seperti narkoba dan migren, kadang-kadang penyebabnya tidak diketahui. Hipotensi berat yang terjadi secara tiba tiba dapat menyebabkan stroke iskemik pada area watershed otak. Hal ini dapat juga menyebabkan nekrosis hipofise akut (Sheehans Syndrome), kadang kadang penyebabnya tidak diketahui.
Trombosis vena serebral lebih sering pada masa nifas. Trombosis sinus sagitalis yang meluas secara sekunder ke vena kortikal dan trombosis primer pada vena kortikal merupakan bagian yang paling sering terjadi. Secara klinis sindroma trombosis vena timbul dengan nyeri kepala yang progressif disertai mual dan muntah, gangguan penglihatan, dan gangguan mental sekunder akibat tekanan intrakranial yang meningkat. Kejang fokal atau umum dapat terjadi. Infark vena cendrung mengalami perdarahan. Penyakit yang berpredisposisi pada keadaan ini adalah polisitemia vera, kanker, leukemia, dehidrasi dan anemia cell sickle. Angka kematian trombosis vena serebral diperkirakan 25 %.
PENANGANAN
Antenatal, persalinan, pasca persalinan
Adanya defisit neurologik fokal pada wanita hamil, yang bersifat sementara (< 24 jam) atau menetap, seharusnya memperkuat dugaan adanya iskemia serebral. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama dapat memberikan informasi yang cukup untuk menegakkan diagnosis.2
Pencitraan (imaging) untuk menilai keadaan otak bukan merupakan suatu kontraindikasi. 2,3
Pemeriksaan darah termasuk hitung jenis, trombosit, elektrolit, glukosa serum, blood urea nitrogen, antikoagulan lupus dan antibodi antikardiolipin, faktor reumatik, VDRL dan pemeriksaan HIV harus dilakukan. Pemeriksaan darah lainnya seperti protein C dan S dan antitrombin, resistensi protein C aktif dan polymerase chain reaction untuk faktor V Leiden, bersama-sama dengan protein serum dan elektroporesis darah, juga dianjurkan. Pemeriksaan toksikologi urin dan darah juga harus dilakukan. Jika diduga penyebabnya berasal dari jantung, EKG, echocardiogram, monitor holter dan pemeriksaan tombosis venosus profunda diindikasikan. Pemeriksaan pungsi lumbal juga direkomendasikan. Jika etiologi tidak diketahui, dianjurkan untuk melakukan angiografi serebral.2
Pemberian antikoagulan baik berupa profilaktik ataupun terapeutik dibutuhkan pada keadaan-keadaan trombosis dan emboli. Bila diperlukan, heparin merupakan obat pilihan. Pilihan lain adalah warfarin, tetapi menimbulkan efek samping berupa embryopathy pada trimester pertama dan potensial untuk perdarahan janin. Heparin tidak melewati sawar plasenta dan kerjanya lebih singkat daripada warfarin.2
Pemberian warfarin bila heparin tidak memungkinkan adalah pada usia kehamilan 12 – 36 minggu, tetapi dengan konseling yang hati-hati.6
Penurunan risiko terhadap janin membuat penanganan peripatum menjadi lebih mudah dan lebih dapat diramalkan. Komplikasi dari pemberian heparin selain perdarahan adalah trombositopenia dan osteopeni.2,5,6
Dosis profilaktik untuk heparin cenderung meningkat selama kehamilan dan makin meningkat sehubungan dengan peningkatan usia kehamilan. Dosis tipikal adalah 7500 – 10.000 IU/ml subkutan tiap 12 jam, untuk mencapai kadar heparin plasma 0,2 – 0,4 Iu/mL atau partial thromboplastin time aktivasi (aPTT) rasio 1,5 kali dari nilai kontrol 6 jam setelah pemberian. Untuk profilaksis, Toglia dan Weg menganjurkan regimen yang sama sebab hiperkoagulopati yang dihubungkan dengan kehamilan adalah 7500 – 10.000 IU 2 kali sehari untuk mencapai kadar heparin plasma dalam 6 jam adalah 0,1 – 0,2 IU/mL. 2,6
Pemeriksaan faktor anti-Xa merupakan alternatif untuk mengawasi pengobatan. Heparin harus dihentikan pada saat persalinan mulai, walaupun bukan merupakan suatu hal yang mutlak. Anestesia spinal dan epidural aman diberikan jika aPTT normal dan heparin sudah diihentikan 4 – 6 jam sebelumnya. 6
Akhir-akhir ini heparin dengan molekul berat rendah (LMWH) dipertimbangkan.1,2,6
LMWH memberikan efek antitrombotik dengan menghambat faktor Xa. Efektif dalam mencegah dan mengatasi trombosis, dan tampaknya memiliki risiko yang kecil terhadap janin dan neonatal karena tidak melewati sawar plasenta. Risiko perdarahan juga kecil, walaupun diberikan selama dan setelah persalinan. Keuntungannya termasuk durasi kerja yang lebih lama, lebih memberikan efek antitrombotik dan diduga menurunkan risiko trombositopenia dan osteopenia. Data awal penggunaan selama kehamilan diduga aman dan efektif untuk mencegah komplikasi trombotik serebral. 6
Pengobatan stroke iskemia akut dengan heparin molekul rendah manfaatnya belum jelas. Penderita dengan trobofilia herediter membutuhkan antikogulan sebelum kehamilan dan memerlukan dosis terapeutik sebelum konsepsi atau bila kehamilan sudah ditegakkan.2,6
Pengobatan yang optimal untuk resistensi protein C aktif sampai saat ini belum diketahui. Heparin dapat digunakan dengan dosis profilaksis. Pengobatan yang optimal untuk sindrom antifosfolipid antibodi sampai saat ini masih diteliti. Bebarapa penulis merekomendasikan penggunaan aspirin dosis rendah (60-80 mg/hari) dan heparin selama kehamilan. Penggunanaan kotikosteroid, imunosupresi atau plasma exchange, gamma globulin intravena tidak direkomendasikan. Penderita kardiomiopati atau atrium fibrilasi dapat diberikan heparin dengan dosis profilaktik ataupun terapeutik.
Terapi trombolitik untuk stoke iskemia akut diindikasikan secara hati-hati. Efek penggunaanya pada kehamilan dan pada saat menyusui belum diketahui.2
Pemberian aspirin dosis rendah menurunkan aktivitas penghambat plasminogen dan reaktivitas trombosit selama kehamilan dan masa nifas. Beberapa penelitian penggunaan aspirin 60 mg perhari selama kehamilan, secara umum ditemukan aman, walaupun terdapat peningkatan insidens solusio plasenta.6

STROKE HEMORAGIK
Stroke hemoragik terdiri dari perdarahan intra serebral (PIS) dan perdarahan sub arahknoid (PSA). PSA dilaporkan sebagai penyebab kematian ibu non obstetrik nomor tiga paling sering. PSA dapat disebabkan oleh rupturr aneurisma, AVM, eklampsia atau pemakai kokain. PIS dapat terjadi akibat eklampsia, hipertensi yang tidak berhubungan dengan eklampsia, ruktur AVM, thrombosis vena serebral, vaskulitis dan choriocarcinomo.
Aneurisme serebral sering ditemukan pada cabang-cabang utama arteri carotis interna. Diperkirakan 1 % perempuan umur reproduksi mempunyai aneurisme serebral, kemungkinan ruptur dihubungkan dengan ukuran aneurisme. Secara klinis gambaran khas dari ruptur aneurisme serebral adalah sakit kepala yang hebat, muntah, meningismus, photofobia, perubahan status mental sampai dengan koma. Koma merupakan tanda prognostik buruk. Sebanyak 50 % mengalami perdarahan yang ringan / sentinel yang terjadi beberapa minggu atau beberapa bulan sebelumnya.
Risiko ruptur aneurisme selama kehamilan, pada penelitian terakhir menunjukkan bahwa kehamilan mempunyai sedikit atau tidak ada efek pada insidens ruptur. Penelitian lain melaporkan bahwa risiko ruptur lima kali lebih banyak daripada penderita tidak hamil. Risiko terjadinya PSA pada kehamilan 85 % berbanding 10% pada kelompok tidak hamil, dan AVM sebagai penyebab perdarahan 50% pada kehamilan dan 10 % pada penderita tidak hamil.
AVM cenderung ruptur pada kehamilan 20 minggu – 6 minggu postpartum. Perdarahan oleh karena AVM selama kehamilan menyebabkan 20 % angka kematian dibanding 10 % pada penderita yang tidak hamil. Angka kematian keseluruhan penderita ruktur aneurisme 35 %. Dimana hampir sama dengan yang tidak hamil. Penting untuk membedakan eklampsia dengan perdarahan serebral dan ruptur aneurisme dan AVM karena penanganan berbeda.

PENANGANAN
Antenatal
Kadang-kadang, SAH sulit dibedakan dengan eklampsia, sehingga sering menyebabkan keterlambatan diagnosis dan lebih memperburuk hasil luaran. Adanya kelainan neurologis pada ibu hamil harus diperiksa dengan seksama. CT scan otak, pungsi lumbal (jika perlu) dan angiografi serebral merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan. CT scan dapat menentukan lokasi dan tipe perdarahan dengan tingkat ketepatan yang tinggi. Jika gambaran CT scan normal, pungsi lumbal dapat dilakukan untuk melihat adanya darah atau xanthochromia. Cairan serospinal yang mengandung darah mendukung diagnosis SAH, tapi dapat pula ditemukan pada keadaan lain seperti eklampsia. Angiografi serebral merupakan pemeriksaan yang terbaik dalam menentukan adanya abnormalitas vaskuler. Angiografi saja mungkin saja dapat gagal menemukan adanya penyebab SAH pada 20% kasus, dan pada keadaan ini pemeriksaan perlu diulang untuk menghilangkan false-negatif. MRI dapat membantu untuk mengidentifikasi lesi.2
Penanganan SAH didasarkan pada prinsip-prinsip neurologik dengan hanya sedikit perubahan selama kehamilan. Tujuan utama adalah mencegah dan mengobati komplikasi neurologis. Pemotongan aneurisma yang lebih awal (<4 hari) sekarang ini dianjurkan pada penderita post SAH yang sadar. Perbaikan hasil luaran janin dan ibu telah diperlihatkan pada intervensi awal dengan pembedahan pada penderita yang hamil.2
Penderita dengan defisit neurologis yang bermakna, kurang memungkinkan untuk dilakukan operasi pemotongan aneurisma sebab dapat meningkatkan mortalitas. Sejumlah pasien memerlukan terapi medikamentosa sampai keadaan membaik.2
Waktu yang tepat untuk melakukan reseksi AVM lebih kontroversial disebabkan karena jumlah kasus yang kecil. Alternatif lain yang lebih dapat diterima adalah melakukan embolisasi dari AVM dibawah kontrol angiografi.2
Terdapat dua pengobatan intraoperatif yaitu hipotensi dan hipotermi yang umum dilakukan untuk mengurangi komplikasi. Hipotensi dilakukan untuk menurunkan risiko ruptur aneurisma selama pembedahan. Walaupun hipotensi maternal mrupakan ancaman bagi janin, tetapi hal ini berhasil dengan pemberian sodium nitroprusside atau isoflurane pada sejumlah kasus. Berdasarkan penelitian, pemberian sodium nitroprusside dapat memberikan efek toksik sianida terhadap janin, sehingga pada pembedahan pemberian tidak melebihi 10 µg/kg/min. Efek hipotensi ibu terhadap janin harus dievaluasi dengan electronic fetal hearth monitoring. Bila terjadi perubahan yang merugikan pada aktivitas jantung menunjukkan bahwa dibutuhkan tindakan untuk menaikkan tekanan darah ibu. Banyak obat-obat anestesia yang dapat menurunkan aktivitas jantung, oleh karena itu menyulitkan interpretasi fetal hearth monitoring. Hiperventilasi yang berlebihan selanjutnya menurunkan aliran darah uterus selama pemberian sodium nitroprusside dan harus dihindari. Oleh karena risiko terhadap janin, beberapa penulis menganjurkan seksio sesarea sebelum pembedahan jika janin sudah matur.2
Hipotermi dilakukan selama operasi aneurisme dimaksudkan untuk melindungi otak dari iskemia yang disebabkan oleh ruptur aneurisma, luka retraksi atau hipotensi. Stange dan Halldin menganjurkan hipotermi karena dapat ditoleransi dengan baik oleh ibu dan janin. Walaupun demikian penanganan dengan hipotermi dan hipotensi masih kontroversi.2
Terapi medikamentosa untuk SAH ditujukan untuk mengurangi risiko perdarahan ulang dan iskemia serebral yang disebabkan oleh vasospasme. Pasien ditempatkan pada ruangan yang gelap dan tenang. Diberikan pelunak feses, sedatif dan analgesia. Nimodipin suatu dihydropyridine calcium channel blocker sering diberikan dan memperlihatkan perbaikan neurologik. Namun dianjurkan untuk berhati-hati pada pemberian untuk wanita hamil, karena keamanannya belum sepenuhnya diakui.2
Ε-Aminocaproic acid (EACA) dan tranexamic acid digunakan untuk menghambat aktivasi plasminogen, suatu prekursor plasmin protein fibrinolitik utama dan menurunkan insiden perdarahan ulang. Tetapi pada penelitian klinik, tidak menunjukkan adanya perbaikan dalam mengurangi perdarahan ulang. Dan karena kurangnya keuntungan yang dapat diperoleh dan dapat mempengaruhi fibrinolisis janin yang dapat dihubungkan dengan perkembangan hyalin membrane disease, sehingga tidak digunakan lagi saat ini.2
Glukokortikoid yang paten seperti deksametason digunakan secara luas untuk mengobati edema serebral dan iskemia. Dukungan pada penggunaannya tidak hanya berdasarkan hasil penelitian, tetapi juga dari perbaikan klinis penderita tumor otak. 2
Edema serebral dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraserebral, sehingga harus diawasi. Jika terdapat peningkatan intrakranial yang disebabkan oleh edema serebri, pemberian manitol suatu diuretik osmotik dapat dilakukan. Pemberiannya sekitar 12,5-50 gr secara intravena, diperlukan untuk tetap mempertahankan tekanan intrakranial dibawah 20 mmHg.2

Persalinan
Pada penderita yang berhasil dilakukan perbaikan terhadap aneursima atau AVM, diajurkan untuk melakukan persalinan dengan seksio sesarea. Jika AVM menjadi penyebab dari SAH, dianjurkan untuk melakukan sterilisasi.2

KEPUSTAKAAN

1. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hankins GD, Clark SL, editors. Neurological and psychiatric disorders : Williams Obstetrics. 20th ed. United States Of America: Prentice-Hall Internatonal, Inc;1997. p. 1255-65.
2. Carhuapoma, JR, Tomlinson MW, Levine SR. Neurological disease. In: James DK, Steer PJ, Weiner CP, Gonik B, editors. High risk pregnancy management option. 2nd ed. London: W.B. Saunders; 1994. p. 803-30.
3. Kohn NV. Neurologic diseases. In: Principles and practice of medical therapy in pregnancy. 2nd ed. Norwalk: Appleton & Lange. p. 1224-32.
4. Shaner DM. Neurological problems of pregnancy. In: Pocket companion to neurology in clinical practice. p. 715-22.
5. Hughes MJ. Pregnancy related neurological emergencies. In: Shah SM, Kelly KM, editors. Emergency neurology: principles and practice. London: Cambridge University Press. p. 515- 26.

6. Pschirrer ER, Monga M. Medical complication of pregnancy, seizure disorder in pregnancy. Obstetrics and Gynecology Clinics.. 2001 September;28(3).1-11.
7. Eller, DP, Patterson CA, Webb GW. Prescribing in pregnancy, maternal and fetal implication of anticonvulsive therapy during pregnancy. Obstetric and Gynecology Clinics. 1997 September;24(3).1-10.
8. Gilmore J, Pennel PB, Stern BJ. Medication use during pregnancy for neurologic conditions. Neurologic clinics. 1998 February;16(1).1-2.
9. Foldvary N. Epilepsy, treatment issues for women with epilepsy. Neurologic clinics. 2001 May; 19(2).1-16.
10. Witlin AG, Mattar F, Sibai BM. General obstetric and gynecology, postpartum stroke: a twenty-year experience. American Journal of Obstetric and Gynecology. 2000 July;183(1).1-8.
11. Rose VL. Special medical reports, new guidelines offer recommendations for women with epilepsy. American Family Physician. 1999 March; 59(6).1-2.
12. Branch DW, Porter TF. Autuimmune disease. In: James DK, Steer PJ, Weiner CP, Gonik B, editors. High risk pregnancy management option. 2nd ed. London: W.B. Saunders; 1994. p. 876-9.
13. Batocchi AP, Majolini L, Evoli A, Lino MM, Minisci C, Tonali P. Views & reviews, course and treatment of myasthenia gravis during pregnancy. Neurology. 1999 February: 52(3).1-11.

Jumat, 19 Maret 2010

FRAKTUR

BAB II
TINJAUAN TEORITIS


A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai jenis dan luasnya (Brunner dan Suddarth, 2001 : 2357). Sedangkan menurut (Rasjad 2003 : 359 ) Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun yang parsial.
Fraktur tertutup adalah suaru fraktur yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar (Rasjad, 2003 : 360).
Femur adalah tulang terbesar dan terkuat (Brooker Chrstine : 161)
Post Operative adalah terjadi setelah tindakan pembedahan (Dorland, 1997 : 1470).
beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa post operasi pemasangan pen atas indikasi fraktur tertutup sepertiga femur dexstra adalah tindakan operasi yang telah dilakukan dengan menggunakan alat-alat fiksasi seperti plate dan screw dalam upaya untuk menyambungkan dua bagian tulang yang mengalami patah tulang terutama pada tulang femur kanan yaitu tulang yang memanjang dari pelvis kelutut yang merupakan tulang terpanjang dan terbesar dalam tubuh yang disebabkan oleh trauma dimana kondisi pertahanan tulang tidak berhubungan dengan dunia luar.
2. Anatomi Tulang Femur
Tulang tersusun oleh jaringan tulang kanselus (Trabekular dan spongius) atau kortikal (kompak). Tulang panjang (Mis. Femur) berbentuk seperti tangkai atau batang panjang dengan ujung yang membulat. Ujung tulang panjang dinamakan epifisis dan terutama tersusun oleh tulang kanselus. Plat epifisis memisahkan epifisis dari diafifis dan merupakan pusat pertumbuhan longitudinal pada anak-anak” (Brunner dan Suddart, 2001 : 2265).

Di bawah ini gambar struktur tulang panjang


gambar 2.1. struktur tulang panjang; komposisi tulang kompak


3. Patofisiologi
Sewaktu tulang patah, maka sel-sel tulang mati. Pendarahan biasanya terjadi sekitar tempat patah dan kedalam jaringan lunak disekitar tulang tersebut. Jaringan lunak biasanya juga mengalami kerusakan. Sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa “sel mati” dimulai. Terjadi inflamasi, pembengkakan dan nyeri reaksi peradangan hebat timbul setelah Fraktur (Crowin, 2000 : 299).
Untuk mengetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami kepatahan, kita harus mengetahui keadaan fisik tulang dan keadaan trauma yang dapat menyebabkan tulang patah. Tulang kortikal mempunyai struktur yang dapat menahan kompresi dan tekanan memuntir. Kebanyakan Fraktur dapat terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar dan tarikan (Rasjad, 2003 : 359).
4. Klasifikasi Fraktur
Fraktur di klasifikasikan menurut : (Rasjad, 2003 : 360)
a. Menurut Etiologis
1) Fraktur Traumatik, terjadi karena trauma yang tiba-tiba.
2) Fraktur Patologis, terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya akibat kelainan patologis didalam tulang.
3) Fraktur Stres, terjadi karena adanya trauma yang terus menerus pada suatu tempat.
b. Menurut Klinis
1) Fraktur Tertutup (Simple Fracture) adalah suatu Fraktur yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar.
2) Fraktur Terbuka (Comfound Fracture) adalah Fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk From Within (dari dalam) atau from without (dari luar).
3) Fraktur dengan komplikasi (complicated fracture) adalah Fraktur yang disertai dengan komplikasi misalnya malunion, infeksi tulang.
c. Menurut Radiologis
1) Lokalisasi
a) Diafisial
b) Metafisial
c) Intra-artikuler
d) Fraktur dengan dislokasi
2) Konfigurasi
a) Fraktur Tranversal
b) Fraktur Oblik
c) Fraktur Spiral
d) Fraktur Z
e) Fraktur Segmenial
f) Fraktur Komunitif, Fraktur lebih dari dua fragmen.
g) Fraktur baji biasanya pada vertebrata karena trauma kompresi
h) Fraktur Avulsi, fragmen kecil tertarik oleh otot atau tendo misalnya Fraktur epikondolius humeri, Fraktur trokanter manyor, Fraktur patela.
i) Fraktur Depresi, karena trauma langsung misalnya pada tulang tengkorak.
j) Fraktur Impaksi
k) Fraktur Pecah (burst) dimana terjadi fragmen kecil yang berpisah misalnya pada Fraktur vertebrata patela, talus, kalkaneus.
l) Fraktur Epifisis
Menurut Brunner dan Suddarth (2001 : 2357) Fraktur di klasifikasikan menjadi :
a. Fraktur Komplet
Adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal).
b. Fraktur Tidak Komplet
Patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.
c. Fraktur Tertutup
Tidak menyebabkan robeknya kulit.
d. Fraktur terbuka
Merupakan Fraktur dengan luka pada kulit atau membrana mukosa sampai kepatahan.
5. Komplikasi
Komplikasi utama yang berhubungan dengan Fraktur khususnya pada tulang panjang adalah emboli lemak, sindrom kompartemen, dan trombolisme vena serta infeksi (Engram, 1999 : 266).
a. Pendarahan dapat menimbulkan kolaps kardiovaskuler hal ini dapat dikoreksi dengan transfusi darah yang memadai.
b. Infeksi, terutama jika luka terkontaminasi dan debridemen tidak memadai.
c. Non-union, lazim terjadi pada Fraktur pertengahan batang femur trauma kecepatan tinggi dan Fraktur dengan interposisi jaringan lunak diantara fragmen.
d. Malunion, disebabkan oleh abduktor dan aduktor yang bekerja tanpa aksi antagonis pada fragmen atas untuk abduktor dan fragmen distal untuk aduktor.
e. Trauma Arteri dan Saraf Jarang, tetapi mungkin terjadi.
(www. Google. Co. id).
Komplikasi awal setelah Fraktur adalah syok, yang bisa berakibat fatal dalam beberapa jam setelah cedera; emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih; dan sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanen jika di tangani segera (Brunner dan Suddarth, 2001 : 2365).
6. Penyembuhan Fraktur
Waktu penyembuhan Fraktur bervariasi dari 6-24 minggu, tergantung dari beratnya Fraktur (Engram, 1999 : 265).
Menurut Brunner dan Suddarth (2001 ; 2268) ada beberapa tahapan penyembuhan yaitu :
a. Inflamasi
Dengan adanya patah tulang, tejadi pendarahan dalam jaringan yang cedera dan terjadi pembentukan hematoma pada tempat patah tulang. Pada tahap ini akibat dari pendarahan darah akan menumpuk dan mengeratkan ujung-ujung tulang yang patah. Tempat cedera kemudian akan di invasi oleh makrofag (sel darah putih besar), yang akan membersihkan daerah tersebut. Terjadi inflamasi, pembengkakan dan nyeri. Tahap inflamasi akan berlangsung beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri.
b. Proliferasi Sel
Dalam sekitar lima hari, hematoma akan mengalami organisasi. Terbentuk benang-benang fibrin dalam gumpalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi, dan invasi fibroblas dan osteoblas yang berdinding sel darah putih pada lokasi, melokalisir radang.
c. Pembentukan Kalus
Osteoblas masuk kedaerah fibrosis untuk mempertahankan penyambungan tulang. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan dan tulang serat imatur. Bentuk kalus dan volume yang dibutuhkan untuk menghubungkan defek secara langsung berhubungan dengan jumlah kerisakan dan pergeseran tulang. Perlu 3 sampai 4 minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrus. Secara klinis fragmen tulang tak bisa digerakan
d. Pengulangan kalus (osifikasi)
1) Osteoblas terus membuat jala untuk membangun tulang.
2) Osteoblas merusakan tulang mati dan membantu mensintesa tulang baru.
3) Collagen menjadi kuat dan terus menyatu dengan deposit kalsium.
Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam 2 sampai 3 minggu patah tulang melalui proses endokondral. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar telah bersatu dengan keras. Penulangan memerlukan waktu 3 sampai 4 bulan uhntuk patah tulang panjang bagi orang dewasa normal.
e. Remodeling Menjadi Tulang Dewasa
Tahap akhir perbaikan patah tulang tulang meliputi pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya. Pada langkah terakhir ini callus yang berlebihan diabsorpsi dan tulang trabecular terbentuk pada garis cedera. Remodeling memerlukan waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun bergantung beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan.
Faktor yang mempercepat penyembuhan Fraktur adalah imobilisasi fragmen tulang, kontak fragmen tulang maksimal, asupan darah yang memadai, nutrisi yang baik, latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang, hormon-hormon pertumbuhan (Tiroid, kalsitonin, Vitamin D, steroid anabolik), potensial listrik pada patahan tulang (Brunner dan Suddarth, 2001 : 2361).

7. Manajemen medik secara umum
Prinsip penanganan Fraktur meliputi reduksi, immobilisasi dan pengembalian fungsi normal dengan rehabilitasi (Brunner dan Suddarth, 2001 : 2360).
a. Reduksi Fraktur
Reduksi (setting tulang) berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajaran dan rotasi anatomis.
b. Imobilisasi Fraktur
Setelah Fraktur di reduksi, fragmen tulang harus di imobilisasi atau dipertahankan dalam posisi dan dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna arau interna. Metode fikasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan tekhnik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi Fraktur .
c. Mempertahankan dan Mengembalikan Fungsi
Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
Traksi, reduksi dengan menggunakan gips atau fiksasi luar (alat-alat dari logam yang dipasangkan pada tulang dengan menggunakan pen), reduksi terbuka dengan memasukan (pen, skrup, plat, kawat, atau jarum) (Engram, 1999 : 265).
Prinsip pengobatan sama dengan Fraktur pada umumnya yaitu terdiri dari reduksi, pertahankan reduksi dan fisioterapi (Rasjad, 2003 : 367).
Untuk penyembuhan Fraktur diperlukan imobilisasi. Immobilisasi dilaksanakan dengan cara :
1) Pembidaian physiologik
Pembidaian semacam ini terjadi secara alami dimana tubuh menjaga untuk mencegah pemakaian dan spasme otot karena rasa sakit pada waktu di gerakan.
2) Fiksasi Eksternal
Pada metoda ini, cara yang digunakan adalah dengan pembidaian dengan orthopedi, spalk, metoda gips dan traksi.
3) Fiksasi Interna

8. Dampak fraktur femur terhadap sistem tubuh
Menurut Barbara C. Long (1999 :378) pasien yang mengalami patah tulang akan menjalani imobilisasi yang dapat mengakibatkan dampak lain terhadap tubuh yaitu :
a. Sistem Kardiovaskular
Masalah-masalah yang berhubungan dengan sistem kardiovaskular adalah kenaikan tingkat trombosit pada vena yang dalam, dan terjadi peningkatan beban kerja jantung, yang disebabkan karena terjadinya vasokontriksi pada pembuluh darah ekstremitas sehingga mengakibatkan darah vena terkumpul dalam vena arus balik, aliran vena menjad berkurang atau cardiac output menurun.
b. Sistem Respiratori/pernafasan
Kurangnya pergerakan, kurang rangsang batuk, kurang dalam ventilasi menyebabkan lendir akan bertumpuk pada bronkhi dan bronkhioles.
c. Sistem Integrits Kulit
Kehilangan integritas kulit (abrasi, decubitus) disebabkan karena gesekan, tekanan, jaringan bergeser satu dengan yang lain. Komplikasi Fraktur terjadi karena adanya penghambatan sirkulasi ke jaringan dan akan bertambah berat oleh adanya infeksi, trauma, berkeringat dan nutrisi yang buruk.
d. Sistem Gastrointestinal/Pencemaran
Kontipasi merupakan komplikasi yang sering akibat immobilisasi. Perubahan makan dan minum yang normal, kurang kegiatan serta dalam pola elminasi harus menggunakan pispot merupakan hal yang menambahterjadinya penurunan peristaltik usus yang mengakibatkan gangguan eliminasi buang air besar.
e. Sistem Perkemihan
Tulang yang rusak akibat Fraktur akan mengakibatkan menaikan kadar kalsium sehingga ph urine menjadi alkalis dan dapat mengakibatkan peningkatan asam sitrun yang dapat mempresipitasi garam kalsium sehingga mengakibatkan urine statis dalam kandung kemih, dengan keadaan itu akan mempermudah timbulnya infeksi saluran kemih juga membentuk batu.
f. Sistem Muskuloskeletal
Atrofi dan kelemahan otot akan terjadi karena di gunakan dengan terjadinya immobilisasi, pertumbuhan tulang (osteoblastic) dan pengrusakan tulang (osteosclastic) akan berhenti, kegiatan osteoblast dan akibatnya matrik tulang rusak dan kalsium di lepas dan akhirnya terjadi osteoporosis.

B. Konsep asuhan keperawatan
Asuhan keperwatan adalah faktor penting dalam aspek-aspek pemeliharaan, rehabilitatif dan preventif perawatan kesehatan (Doenges,1999:6).
Proses keperawatan adalah metode sistematik di mana secara langsung perawat bersama klien secara bersama menentukan masalah keperawatan sehingga membutuhkan asuhan keperawatan, membuat perencanaan dan rencana implementasi, serta mengevaluasi hasil asuhan keperawatan (Gaffar, 1999 : 54). Yura dan Walsh (1967) adalah orang yang pertama kali mempublikasikan proses keperawatan terdiri dari empat tahap yaitu pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dimana tahapan diagnosa keperawatan masuk pada tahapan pengkajian (Gaffar, 1999 : 54).

1. Pengkajian
Pengkajian merupakan dasar utama atau langkah awal dari proses keperawatan secara keseluruhan. Pengkajian keperawatan terdiri dari 3 tahap, yaitu pengumpulan data, pengelompokan atau pengorganisasian serta menganalisa dan merumuskan diagnosa keperawatan (Gaffar, 1999 : 55).
a. Pengumpulan data
Pengumpulan data mulai dilakukan sejak klien masuk kerumah sakit (Initial Assesment), selama klien dirawat secara terus menerus (ongoing assesment) serta pengkajian dapat dilakukan ulang untuk menambah dfan melengkapi data yang telah ada (re-assesment).
Berdasarkan sumber data, data pengkajian dibedakan atas data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari klien bagaimanapun kondisi klien. Data sekunder adalah data yang diperoleh selain dari data klien, seperti dari perawat, dokter, ahli gizi, ahli fisioterapi, keluarga atau kerabat klien, catatan keperawatan serta hasil pemeriksaan seperti pemeriksaan laboratorium, hasil rontgen atau hasil pemeriksaan diagnostik lainnya.
1) identitas klien dan penanggung jawab
a) Identitas klien
Identitas klien mencakup nama, umur, agama, suku bangsa, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, dan nomor rekam medik.
b) Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab seperti nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan hubungan dengan klien.
2) Riwayat kesehatan
a) Alasan masuk perawatan
kronologis yang menggambarkan perilaku klien dalam mencari pertolongan.
b) Keluhan utama
Keluhan utama yang biasanya dialami oleh klien Fraktur adalah nyeri pada lokasi Fraktur terutama pada saat digerakan pembengkakan, pemendekan, ekstremitas yang sakit, krepitas, paralisis, angulasi ekstremitas yang sakit, spasme otot, parestesia, ucap dan tidak ada denyut nadi pada daerah distal pada lokasi Fraktur (Enggram, 1998 : 267).
c) Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat kesehatan sekarang merupakan penjelasan dari keluhan utama yang dijabarkan dengan metode PQRST.
(1) Paliatif atau provokatif
merupakan hal atau faktor yang memperberat atau mengurangi keluhan.
(2) Quality
Adalah kualitas dari keseluruhan atau penyakit yang dirasakan.
(3) Region
Adalah daerah penyebaran atau tempat dimana keluhan dirasakan.
(4) Scala
Scala severity adalah derajat keganasan atau intensitas dari keluhan tersebut, nyeri yang dirasakan tergantung dari individu biasanya diukur menggunakan skala nyeri 0-5.
(5) Time
Time merupakan lamanya keluhan nyeri dirasakan dan kapan nyeri tersebut hilang timbul, time juga menunjukan lamanya atau kekerapan nyeri terasa.
d) Riwayat kesehatan yang lalu
Riwayat kesehatan yang lalu meliputi kondisi kesehatan individu di masa lalu seperti riwayat Fraktur atau riwayat trauma, riwayat penyakit seperti osteoporosis, hiperparatiroid dan infeksi pada tulang dan riwayat perawatan dirumah sakit atau pembedahan serta riwayat pembedahan berikut efek sampingnya.
e) Riwayat kesehatan keluarga
Dikaji mengenai riwayat penyakit keturunan seperti hiperparatiroid, diabetes melitus, asma. Penyakit menular seperti TBC, dan penyakit yang sama pada keluarga dengan klien.
3) Data biologis
Dikaji dengan membandingkan pola aktivitas sehari-hari sebelum sakit dan selama berada di rumah sakit, yang meliputi :

a) Nutrisi dan elektrolit
Mengkaji tentang frekuensi makan, jenis makanan, porsi makan, pantangan, alergi, keluhan makan,jumlah minum dalam sehari, jenis minuman. Pada klien Fraktur diet yang danjurkan adalah diet tinggi serat dan tinggi kalsium.
b) Eliminasi
Mengkaji tentang frekuensi buang air besar, warna, konsistensi, bau, keluhan saat buang air besar. Klien dengan Fraktur femur biasanya dijumpai konstipasi akibat tirah baring yang lama.
Frekuensi buang air kecil, warna, jumlah urine setiap kali buang air kecil dan keluhan saat BAK.
c) Istirahat dan tidur
Mengkaji tentang lama tidur dalam sehari, gangguan tidur selama tidur dan kegiatan yang dilakukan sebelum tidur. Klien dengan Fraktur biasanya mempunyai gangguan dalam pola tidur karena nyeri.
d) Personal hygiene
Mengkaji tentang klien kemampuan klien tentang perawatan diri meliputi frekuensi mandi, gosok gigi dan cuci rambut, guntnig kuku dan lain-lain. Klien dengan Fraktur femur biasanya tidak mampu melakukannya secara mandiri karena keterbatasan gerak.
e) Aktivitas dan mobilisasi
Mengkaji tentang jenis kegiatan sehari-hari yang dilakukan dan kegiatan waktu luang. Pada klien dengan Fraktur femur akan ditemukan keterbatasan atau kehilangan fungsi pada bagian yang terkena yang mengakibatkan ketergantungan pada orang lain pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
4) Pemeriksaan fisik
a) Sistem pernapasan
Pada pasien yang menjalani immobilisasi dapat terjadi penumpukan lendir pada bronkhi dan bronkhiolus. Perhatikan bila pasien tidak bisa batuk dan mengeluarkan dahak. Lakukan auskultasi untuk mengetahui kelembaban dalam paru-paru.
b) Sistem kardiovaskuler
Hipertensi dan takikardi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri atau asietas). Penurunan nadi pada bagian distal yang cedera, pengisian kapiler lambat, pucat pada bagian yang terkena Fraktur terjadi karena perdarahan atau luka terbuka.
c) Sistem Gastrointestinal
Konstipasi merupakan komplikasi yang sering akibat immobilisasi. Perubahan makan dan minum yag normal, kurang kegiatan serta dalam pola eliminasi harus menggunakan pispot merupakan hal yang menambah terjadinya penurunan peristaltik usus yang mengakibatkan gangguan eliminasi buang air besar.
d) Sistem Perkemihan
Kenaikan kalsium karena tulangnya rusak serta kenaikan ph urine menjadi alkalis meningkatkan asam sitrun yang dapat mempresipitas garam kalsium yang mengakibatkan urine statis dalam kandung kencing sehingga mempermudah timbulnya infeksi perkemihan dan pembentukan batu.
e) Sistem Muskuloskeletal
Dikaji akan adanya sakit, krepitasi, pembengkakan, spasme otot, deformitas dan kesejajaran, pemendekan ekstremitas dapat terjadi pada Fraktur tulang panjang. Pada klien dengan Fraktur akan terjadi atrofi dan kelemahan kekuatan tonus otot karena tidak digunakan (Barbara C. Long, 1996 : 380).
f) Sistem Integumen
Kerusakan integritas jaringan (abrasi, decubitus) dapat terjadi akibat luka terbuka, gesekan, tekanan, jaringan bergeser satu dengan yang lainnya.

g) Sistem Neurologi
Nyeri pada lokasi Fraktur terutama saat digerakan, kehilangan daya gerak, penurunan sensasi, kesemutan, kelemahan atau kehilangan fungsi, agitasi mungkin berhubungan dengan nyeri atau ansietas.

5) Data Psikososial
a) Status emosional klien
Hal-hal yang perlu dikaji pada klien dengan Fraktur mengenai pola fikir dan persepsi diri meliputi hal yang dipikirkan klien saat ini, harapan setelah menjalani perawatan dan perubahan yang dirasakan klien setelah menjalani perawatan.
b) Konsep Diri
(1) Harga Diri : mengkaji bagaimana harga diri klien setelah dilakukan tindakan pembedahan.
(2) Identitas Diri : Mengkaji status klien dalam keluarga.
(3) Peran Diri : Mengkaji peran klien dalam keluarga.
(4) Body Image : Mengkaji apakah klien merasa mengalami perubahan pada tubuhnya setelah tindakan pembedahan.
(5) Ideal Diri : Mengakaji harapan atau keinginan klien setelah tindakan pembedahan.
c) Hubungan Interaksi : mengkaji meliputi bagaimana hubungan klien dengan orang lain.
d) Pola Komunikasi : Mengkaji kemampuan klien dalam berkomunikasi dengan orang lain serta bahasa yang biasa digunakan.
6) Data Spiritual
Dalam data spiritual yang dikaji meliputi agama yang dianut oleh klien, kegiatan ibadahnya, cara lain yang dilakukan klien jika tidak melakukan ibadahnya, keyakinan dan kepercayaan klien terhadap kondisinya serta kepercayaan klien terhadap perawatan yang diberikan.
7) Data penunjang menurut Dongoes (2000:762) adalah sebagai berikut :
a) Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi atau luasnya trauma atau Fraktur, Scan Tulang, tomogram, scan CT atau MRI : memperlihatkan Fraktur, juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi jaringan lunak.
b) Pemeriksaan Laboratorium : hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi), atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi Fraktur atau organ jauh pada trauma multipel), peingkatan jumalh sel darah putih adalah respon stres normal setelah trauma, kretainin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfusi multipel atau cedera hati.
b. Analisa data
Tahap akhir dari pengkajian adalah analisa data untuk menentukan diagnosa keperawatan. Proses analisa adalah menghubungkan data yang diperoleh dengan konsep, teori, prinsip asuhan keperawatan yang relevan dengan kondisi klien. Analisa data dilakukan melalui pengesahan data, penggelompokan data, membandingkan data, menentukan ketimpangan/ kesenjangan data, menafsirkan adanya ketimpangan/ kesenjangan data serta membuat kesimpulan tentang kesenjangan/masalah yang ada (Gaffar, 1999 : 60).
c. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah cara mengidentifkasi, memfokuskan dan mengatasi kebutuhan spesifik pasien secara respon terhadap masalah aktual dan resiko tinggi (Donges, 2000 : 8).
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menjelaskan status atau masalah kesehatan aktual atau potensial (Gaffar, 1999 : 61).
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien Fraktur menurut Dongoes (2000 : 761)dan Engram (1999 : 268) adalah sebagai berikut :
1) Nyeri berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera jaringan lunak.
Batasan karakteristik : Keluhan nyeri, distraksi, fokus pada diri sendiri atau fokus menyempit, wajah menunjukan nyeri, perilaku berhati-hati, melindungi, perubahan tonus otot, respon otonomi.
2) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler dan nyeri, immobilisasi tungkai.
Batasan Karakteristik : Ketidakmampuan untuk bergerak sesuai tujuan dalam lingkungan fisik, dilakukan pembatasan. Menolak untuk bergerak , keterbatasan rentang gerak. Penurunan kekuatan atau kontrol otot.
3) Resiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan tak adekuatnya pertahanan primer, kerusakan kulit, trauma jaringan , terpajan pada lingkungan, prosedur invasif, traksi tulang.
Batasan karakteristik : (tidak dapat diterapkan tanda-tanda membuat diagnosa aktual).
4) Resiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah, emboli lemak, perubahan membran alveolar, edema paru, kongesti.
Batasan karakteristik : (tidak dapat diterapkan tanda-tanda membuat diagnosa aktual).
5) Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan cedera vaskuler langsung, edema berlebihan, pembentukan trombus.
Batasan karakteristik : (tidak dapat diterapkan tanda-tanda membuat diagnosa aktual)
6) Resiko tinggi kerusakan integritas kulit atau jaringan berhubungan dengan cedera tusuk, Fraktur terbuka, bedah perbaikan, pemasangan traksi pen, kawat, sekrup.
Batasan karakteristik : keluhan gatal, nyeri, gangguan permukaan kulit, invasi struktur tubuh, destruksi lapisan kulit atau jaringan.
7) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan pengobatan berhubungan dengan kurang mengingat, salah interprestasi informasi/ tidak mengenal sumber informasi.
Batasan karakteristik : pertanyaan atau meminta informasi, pernyataan salah konsepsi, terjadinya komplikasi yang dapat dicegah.
8) Resiko tinggi terhadap trauma (kontraktur dan atrofi) berhubungan dengan kehilangan integritas tulang atau Fraktur, immobilisasi.
Batasan karakteristik : (tidak dapat diterapkan tanda-tanda membuat diagnosa aktual).
9) Resiko tinggi perubahan penatalaksanaan pemeliharaan rumah berhubungan dengan defisit pengetahuan perawatan diri saat pulang, kurang sistem pendukung yang adequat.
Batasan karakteritik : menyatakan kurang pemahaman, meminta informasi, menyatakan perlu bantuan pada aspek perawatan fisik.
10) Defisit perawatan diri berhubungan denga traksi, gips, pemasangan ven pada ekstremitas.
Batasan karaktersitik : meminta bantuan untuk mandi, makan, toileting, berpakaian atau mobilitas.
2. Perencanaan
Perencanaan merupakan deskripsi untuk perilaku spesifik yang diharapkan dari pasien dan tindakan yang harus dilakukan oleh perawat (Doenges, 2000 : 10). Dengan tujuan untuk mengurangi, menghilangkan dan mencegah masalah keperawatan klien (Gaffar, 1999 : 63). Dalam penyusunan rencana tindakan perlu diperhatikan adanya kerjasama yang baik antara klien, keluarga, dan tim kesehatan lainnya agar tujuan dapat tercapai sesuai kriteria evaluasi. Adapun perencanaan pada klien dengan Fraktur menurut Doengoes (2001 : 388) dan Engram (1999 :269) adalah :
1) Nyeri berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera jaringan lunak.
Tujuan : menyatakan nyeri hilang.
Kriteria Evaluasi : menunjukan tindakan santa, mampu berpartisipasi dalam aktivitas, tidur / istirahat dengan tepat. Menunjukan keterampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik.
INTERVENSI RASIONAL
• Pertahankan immobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips pembebat traksi.

• Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena.
• Hindari penggunaan sprei / bantal plastik dibawah ekstremitas dalam gips.

• Evaluasi keluhan nyeri atau ketidak nyamanan, perhatikan lokasi dan karakteristik, termasuk intensitas (skala nyeri), perhatikan petunjuk nyeri non verbal.
• Dorong pasien untuk mendiskusikan masalah sehubungan dengan cedera.

• Jelaskan prosedur sebelum memulai.


• Berikan alternatif tindakan kenyamanan, contoh pijatan punggung, perubahan posisi.
• Dorong menggunakan tekhnik manajemen nyeri, contoh relaksasi progresif, latihan, napas dalam, imajinasi, visualisasi, sentuhan terapeutik.

• Selidiki keluhan nyeri yang tidak biasa atau tiba-tiba atau dala.
• Lakikan kompres dingin / es 24-48 jam pertama dan sesuai keperluan.
• Berikan obat sesuai indikasi : Narkotik, analgesik, non narkotik. • Menghilangkan nyeri dan mencegah kesalahan posisi tulang atau tegangan jaringan yang cedera.
• Meningkatkan aliran balik vena, menurunkan edema dan menurunkan nyeri.
• Dapat meningkatkan ketidak nyamanan karena peningkatan produksi panas dalam gips yang kering.
• Mempengaruhi pilihan atau pengawasan keefektifan intervensi, tingkat ansietas dapat mempengaruhi persepsi.

• Membantu untuk menghilangkan ansietas pasien dapat merasakan kebutuhan untuk menghilangkan pengalaman kecelakaan.
• Memungkinkan pasien untuk siap secara mental untuk aktivitas juga berpartisipasi dalam mengontrol tingkat ketidaknyamanan.
• Meningkatkan sirkulasi umu, menurunkan area tekanan lokal dan kelelahan otot.
• Memfokuskan kembali perhatikan, meningkatkan rasa kontrol dan dapat meningkatkan kemampuan koping dalam manajemen nyeri, yang mungkin menetap untuk periode lebih lama.
• Dapat menandakan terjadinya komplikasi. Contoh infeksi, iskemia jaringan.
• Menurunkan endema / pembentukan hematoma, menurunkan sensasi nyeri.
• Diberikan untuk menurunkan nyeri.

2) Kerusakan mobilias fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler dan nyeri.
Tujuan : meningkatkan atau mempertahankan mobilitas pada tingkat yang paling tinggi.
Kriteria Evaluasi : Mempertahankan posisi fungsional. Meningkatkan kekuatan atau fungsi yag sakit dan mengkompensasi bagian tubuh. Menunjukan teknik yang mampu melakukan aktifitas.
INTERVENSI RASIONAL
• Kaji derajat immobilisasi yang dihasilkan oleh cedera dan perhatikan persepsi klien terhadap immobilisasi.

• Dorong penggunaan latihan isometrik mulai dengan tungkai yang tidak sakit.


• Berikan papan kaki, bebat pergelangan, gulungan trokanter / tangan yang sesuai.

• Tempatkan dalam posisi terlentang secara periodik bila mungkin.

• Bantu atau dorong perawatan diri atau kebersihan.


• Bantu dalam mobilisasi dengan kursi roda, kruk, tongkat, sesegera mungkin. Instruksikan keamanan dalam menggunakan alat mobilitas.


• Awasi tekanan darah dengan melakukan aktivitas. Perhatikan keluhan pusing.

• Ubah posisi secara periodik dan dorong untuk latihan batuk / nafas dalam.
• Konsul dengan ahli terapi atau okupasi dan atau rehabilitasi spesialis. • Pasien mungkin dibatasi oleh persepsi diri tentang keterbatasan fisik aktual, memerlukan intervensi untuk meningkatkan kemajuan kesehatan.
• Kontraksi otot isometrik tanpa menekuk sendi atau menggerakan tungkai dan membantu mempertahankan kekuatan dan masa otot.
• Berguna dalam mempertahankan posisi funsional ekstremitas dan mencegah komplikasi. Contoh kontraktur / kaki jatuh.
• Menurunkan resiko kontraktur fleksi panggul.

• Meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi, meningkatkan kontrol pasien dalam situasi dan meningkatkan kesehatan diri langsung.

• Mobilisasi dini menurunkan komplikasi tirah baring dan meningkatkan penyembuhan dan normalisasi fungsi organ. Belajar memperbaiki cara menggunakan alat penting untuk mempertahankan mobilisasi optimal dan keamanan pasien.
• Hipotensi postural adalah masalah umum menyertai tirah baring lama dan dapat memerlukan intervensi khusus.
• Mencegah / menurunkan insiden komplikasi kulit pernafasan.
• Berguna dalam membuat aktifitas individual atau program latihan.

3) Resiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan tak adekuatnya pertahanan primer, kerusakan kulit, trauma jaringan , terpajan pada lingkungan, prosedur invasif, traksi tulang.
Tujuan : mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen, atau eritema demam.
Kriteria evaluasi : mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen atau eritema dan demam.
INTERVENSI RASIONAL
• Inspeksi kulit untuk adanya iritasi atau robekan kontinuitas.

• Kaji sisi pen / kulit perhatikan keluhan peningkatan nyeri / rasa terbakar atau adanya edema, eritema, drainase / bau tidak enak.
• Observasi luka untuk adanya pembentukan bula, krepitasi, perubahan warna kulit, bau drainase yang tidak enak.
• Kaji tonus, reflek tendon dalam dan kemampuan untuk berbicara.
• Selidiki nyeri tiba-tiba atau keterbatsan gerak dengan edema lokal.
• Awasi pemeriksaan laboratorium ; hitung darah lengkap, LED.

• Berikan obat sesuai indikasi ; contoh antibiotik. • Pen atau kawat tidak harus dimasukan melalui kulit terinfeksi, kemerahan atau abrasi.
• Dapat mengindikasikan timbulnya infeksi lokal / nekrosis jaringan yang dapat menimbulkan osteomielitis.
• Tanda perkiraan infeksi gas gangreng.


• Kekakuan otot, spasme tonik, rahang dan disfagia menunjukan adanya tetanus.
• Dapat mengindikasikan terjadinya osteomielitis.
• Anemia, peningkatan LED terjadi pada osteomielitis peningkatan leukosit terjadi pada infeksi.
• Antibiotik spektrum luas dapat digunakan secara profilaktif atau dapat ditunjukan pada mikroorganisme khusus.

4) Resiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah, emboli lemak, perubahan membran alveolar, edema paru, kongesti.
Tujuan : Mempertahankan fungsi pernapasan adequat
Kriteria Evaluasi : tidak adanya dispneu atau sianosis, frekuensi pernapasan dan GDA dalam batas normal.
INTERVENSI RASIONAL
• Awasi frekuensi pernapasan dan upayanya. Perhatikan stridor, penggunaan otot bantu, retraksi, terjadinya sianosis sentral.
• Auskultasi bunyi napas perhatikan terjadinya ketidaksamaan, bunyi hiperesona, juga adanya ronkhi, mengi, dan inspirasi mengorok / bunyi sesak nafas.

• Atasi jaringan cedera atau tulang dengan lembut, khususnya selama beberapa hari pertama.
• Instruksikan dan bantu dalam latihan nafas dalam dan batuk, reposisi dengan sering.


• Perhatikan peningkatan kegelisahan, kacau letargi, dan stupor.



• Inspeksi kulit untuk petekie diatas garis putting, pada aksila meluas ke abdomen / tubuh, mukosa mulut, palatum keras dan kantung konjungtiva.
• Kolaborasi : Berikan tambahan oksigen (bila diindikasikan). • Takipneu, dispneu dan perubahan dalam mental tanda dini insufisiensi pernafasan dan mungkin hanya indikator terjadinya emboli paru pada tahap awal.
• Perubahan dalam bunyi adventisius menunjukan terjadinya komplikasi pernafasan. Mis. Alelektasis, pneumonia. Inspirasi mengorok menunjukan edema jalan nafas atas dan diduga emboli lemak.
• Ini dapat mencegah terjadinya emboli lemak yang erat hubungannya dengan Fraktur, khususnya tulang panjang dan pelvis.
• Meningkatkan ventilasi alveolar dan perfusi. Reposisi meningkatkan drainase sekret dan menurunkan kongesti pada area paru dependen.
• Gangguan pertukaran gas atau adanya emboli paru dapat menyebabkan penyimpangan pada tingkatan kesadaran pasien seperti terjadinya hipoksemia / asidosis.
• Ini adalah karakteristik paling nyata dari tanda emboli lemak, yang tampak dalam 2-3 hari setelah cedera.

• Meningkatkan sediaan oksigen untuk optimal jaringan .

5) Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan cedera vaskuler langsung, edema berlebihan, pembentukan trombus.
Tujuan : Mempertahankan perfusi jaringan .
Kriteria Evaluasi : teraba nadi, kulit kerng atau hangat, sensasi normal, sensori biasa, tanda-tanda vital stabil dan haluaran urine adequat.
INTERVENSI RASIONAL
• Lepaskan perhiasan dari ekstremitas yang sakit.
• Kaji aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan distal pada Fraktur.

• Lakukan pengkajian neuromuskuler, perhatikan perubahan fungsi motor atau sensori, minta pasien untuk melokalisasi nyeri / ketidaknyamanan.
• Tes sensasi saraf perifer dengan menusuk pada kedua selaput antara ibu jari pertama dan kedua dan kaji kemampuan dorsofleksi ibu jari bila diindikasikan.
• Kaji jaringan sekitar akhir gips untuk titik yang kasar / tekanan. Selidiki keluhan rasa terbakar dibawah gips.
• Pertahankan peninggian ekstremitas yang cedera kecuali di kontraindikasikan dengan keyakinan adanya sindrom kompartemen.
• Kaji keseluruhan panjang ekstremitas yang cedera untuk pembengkakan atau pembentukan edema. Ukur ekstremitas yang cedera dan bandingkan dengan yang tidak cedera. Perhatikan tampilan atau luasnya hematom.
• Perhatikan keluhan nyeri ekstrem untuk tipe cedera dan peningkatan nyeri pada pergerakan pasif ektremitas, parestesia, nyeri tekanan dengan edema dan perubahan nadi distal. Jangan tinggikan ekstremitaslaporkan gejala pada dokter saat itu.

• Selidiki tanda iskemi ekstremitas tiba-tiba (penurunan suhu kulit, peningkatan nyeri.).


• Selidiki nyeri tekan, pembengkakan pada dorsifleksi kai (tanda homan positif).

• Awasi tanda vital, perhatikan tanda pucat atau sianosis umum, kulit dingin perubahan mental.
• Kolaborasi : berikan kompres es sekitar Fraktur sesuai indikasi.
• Kolaborasi : bebat / buat spalk sesuai kebutuhan. • Dapat membendung sirkulasi bila terjadi edema.
• Kembalinya warna harus cepat (3-5 detik), warna kulit putih menunjukan gangguan arterial, sianosis diduga ada gangguan vena.
• Gangguan perasaan kebas, kesemutan, peningkatan atau penyebaran nyeri dapat terjadi bila sirkulasi pada saraf tidak adekuat atau saraf rusak.
• Panjang dan posisi saraf perineal meningkatkan resiko cedera pada adanya Fraktur kaki, edema / sindrom kompartemen, atau mal posisi alat traksi.
• Faktor ini disebabkan atau mengindikasikan tekanan jaringan atau iskemia, menimbulkan kerusakan / nekrosis.
• Meningkatkan drainase vena / menurunkan edema.

• Peningkatan lingkar ekstremitas yag cedera dapat diduga ada pembengkakan jaringan edema umum dapat menunjukan edema perdarahan.


• Perdarahan atau pembentukan edema berlanjut dalam otot tertutup dengan fasia ketat dapat menyebabkan gangguan aliran darah dan iskemia miositis atau sindrom kompartemen, perlu intervensi darurat untuk menghilangkan tekanan / memperbaiki sirkulasi.
• Dislokasi Fraktur sendi (khususnya lutut) dapat menyebabkan kerusakan arteri yang berdekatan dengan akibat hilangnya darah ke distal.
• Terdapat peningkatan potensial untuk tromboflebitis dan emboli paru pada pasien immobilisasi selama 5 hari atau lebih.
• Ketidakadekuatan volume sirkulasi akan mempengaruhi sistem perfusi jaringan .

• Menurunkan edema / pembekuan hematoma, yang dapat mengganggu sirkulasi.
• Mungkin dilakukan pada keadaan darurat untuk menghilangkan restriksi yang diakibatkan oleh pembentukan edema pada ekstremitas yang cedera.

6) Aktual atau resiko tinggi kerusakan integritas kulit atau jaringan berhubungan dengancedera tususk, Fraktur terbuka, bedah perbaikan, pemasangan traksi pen, kawat sekrup.
Tujuan : Menyatakan ketidaknyamanan hilang
Kriteria Evaluasi : menunjukan prilaku atau teknik untuk mencegah kerusakan kulit atau memudahkan penyembuhan. Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu atau penyembuhan lesi terjadi.
INTERVENSI RASIONAL
• Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan perdarahan, perubahan warna, kelabu, memutih.
• Masase kulit dan penonjolan tulang, pertahankan tempat tidur kering dan bebas kerutan.
• Ubah posisi dengan sering

• Kolaborasi : Gunakan tempat idur busa, bulu domba, bantal apung, atau kasur udara sesuai indikasi. • Memberikan informasi tentang sirkulasi kulit dan masalah yang mungkin disebabkan oleh alat atau pemasangan bebat.
• Menurunkan tekanan pada area yang peka dan resiko abrasi atau kerusakan kulit.

• Mengurangi tekanan konstan pada area yang sama dan meminimalkan resiko kerusakan kulit.
• Karena immobilisasi bagian tubuh, tonjolan tulang lebih dari area yang sakit oleh gips mungkin karena penurunan sirkulasi.

7) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan pengobatan berhubungan dengan kurang mengingat, salah interpretasi informasi / tidak mengenal sumber informasi.
Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang kondisi, pronogis dan pengobatan.
Kriteria evaluasi : Melakukan dengan benar prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan tindakan.
INTERVENSI RASIONAL
• Kaji ulang patologi, prognosis dan harapan yang akan datang.
• Beri penguatan metode mobilitas dan ambulasi sesuai instruksi dengan terafis fisik bila diindikasikan.



• Buat daftar aktifitas dimana pasien dapat melakukan secara mandiri dan yang memerlukan bantuan.
• Kaji ulang keperawatan luka yang tepat.


• Anjurkan penggunaan pakaian yang adaptif. • Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi.
• Banyak Fraktur memerlukan gips, bebat, atau menjepit selama proses penyembuhan. Kerusakan laju dan pelambatan penyembuhan dapat terjadi sekunder terhadap ketidak tepatan penggunaan alat ambulasi.
• Penyusunan aktifitas sekitar kebutuhan dan yang memerlukan bantuan.

• Menurunkan resiko trauma tulang / jaringan dan infeksi dapat berlanjut menjadi osteomielitis.
• Membantu aktivitas berpakaian / kerapihan.

8) Resiko tinggi terhadap trauma (kontraktur dan atrofi) berhubungan dengan kehilangan integritas tulang atau Fraktur, immobilisasi.
Tujuan : Trauma tidak terjadi.
Kriteria evaluasi : mempertahankan stabilisasi dan posisi Fraktur, menunjukan mekanika tubuh yang meningkatkan stabilitas pada sisi Fraktur, menunjukan mekanika tubuhyang meningkatkan stabilitas pada sisi Fraktur, menunjukan pembentukan kalus atau mulai penyatuan Fraktur dengan tepat.
INTERVENSI RASIONAL
• Pertahankan tirah baring atau ekstremitas sesuai indikasi berikan sokongan sendi di atas dan di bawah Fraktur bila bergerak atau membalik.
• Letakan papan dibawah tempat tidur atau tempatkan pasien pada tempat tidur ortopedik.


• Kaji ulang foto atau evaluasi.





• Lakukan dan awasi latihan rentang gerak aktif / pasif.

• Motivasi klien untuk / bantu dalam rentang gerak aktif / pasif pada ekstremitas yang sakit dan yang tidak sakit.

• Dorong pasien untuk secara rutin latihan jari atau sendi distal cedera, ambulasi sesegera mungkin.
• Berikan penyuluhan tentang latihan ROM. • Meningkatkan stabilitas menurunkan kemungkinan gangguan posisi atau penyembuhan.

• Tempat tidur lembut atau lentur dapat membuat deformasi gips yang masih basah, mematahkan gips yang sudah kering, atau mempengaruhi dengan penarikan traksi

• Memberikan bukti visual mulainya pembentukan kalus atau proses pembentukankalus atau proses penyembuhan untuk menentukan tingkat aktivitas dan kebutuhan perubahan atau tambahan terapi.
• Mempertahankan kekuatan / mobilitas otot yang sakit dan memudahkan resolusi inflamasi pada jaringan yang cedera.
• Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot, mempertahankan gerak sendi, mencegah kontraktur sendi.
• Meningkatkan sirkulasi dan menurunkan pengumpulan darah khususnya pada ekstremitas bawah.
• Pemberian penyuluhan dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman klien mengenai latihan ROM.

9) Resiko tinggi perubahan penatalaksanaan pemeliharaan rumah berhubungan dengan defisit pengetahuan tentang perawatan diri saat pulang, kurang sistem pendukung yang adekuat.
Tujuan : menyatakan kefahamannya tentang penatalaksanaan pemeliharaan rumah.
Kriteria evaluasi : berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan perawatan diri, menyatakan pemahamannya tentang rencana tindakan, mencari informasi tambahan.
INTERVENSI RASIONAL
• Jelaskan semua prosedur dan tujuan semua tindakan. Dorong keterlibatan pasien semaksimal mungkin. Evaluasi kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas perawatan diri.
• Yakinkan pasien memiliki bahan perawatan luka selama seminggu untuk pulang, resep analgetik. • Kepatuhan meningkatkan kerjasama dan kemandirian.



• Untuk mengurangi ansietas yang umumnya berhubungan dengan aktivitas perawatan diri dirumah. Nyeri ringan biasanya akan berlangsung sampai beberapa minggu setelah reduksi dibuka.

10) defisit perawatan diri berhubungan denga traksai, gips, pemasangan pen pada ektremitas.
Tujuan mendemontrasikan tidak ada defisit perawatan diri.
Kriteria evaluasi : melaporkan aktivitas kehidupan sehari-hari terpenuhi, tidak ada bau badan, mukosa mulit lembab, kulit utuh.
INTERVENSI RASIONAL
• Kaji derajat ketidak mampuan klien. Izinkan sebanyak mungkin melakukannya secara otonomi.
• Antisipasi kebutuhan kebersihan diri dan bantu sesuai dengan kebutuhan seperti perawatan kuku, kulit dan rambut.

• Berikan bantuan AKS sesuai dengan kebutuhan, izinkan pasien untuk merawat diri sesuai dengan kemampuannya.
• Setelah reduksi tempatkan kantung diatas ekstremitas yang sakit untuk mempertahankan luka, gips, bebat, fiksasi eksternal tetap kering pada saat mandi.
• Pertahankan mobilitas kontrol terhadap nyeri dan program latihan • Membantu dalam mengidentifikasi kebutuhan saat ini dan mengembangkan rencana perawatan.
• Berpartisipasi dalam perawatan diri sendiri dapat meringankan frustasi atas kehilangannya kemandirian yang dimilikinya.
• AKS adalah fungsi-fungsi orang melakukannya dengan normal tiap hari

• Kantung plastik melindungi alat-alat dari kelembaban yang berlebihan yang dapat menimbulkan infeksi

• Mendukung kemandirian fisik /emosional

3. Pelaksanaan
Merupakan pelaksanaan rencana asuhan keperawatan yang meliputi tindakan yang direncanakan oleh perawat, klien atau keluarga maupun hasil kolaborasi dokter (Gaffar, 1999 : 65). Terdapat 3 fase implementasi keperawatan, yaitu fase persiapan, operasional dan terminasi.


4. Evaluasi
Fase terakhir dari keperawatan adalah evaluasi terhadap asuhan keperawatan yang diberikan. Hal-hal yang dievaluasi adalah keakuratan, kelengkapan dan kualitas dan serta teratasi atau tidaknya masalah klien, pencapaian tujuan serta ketepatan intervensi keperawatan (Gaffar, 1999 : 67).

DM

BAB II
TINJAUAN TEORITIS


A. Konsep Dasar
1. Pengertian Diabetes Melitus dan Gangren
Diabetes melitus adalah gangguan metabolik kronis yang tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol yang dikarakteristikan dengan hiperglikemia karena defisiensi insulin atau ketidakadequatan penggunaan insulin (Engram, 1999 : 532).
Diabetes melitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai oleh kadar glukosa darah melebihi nilai normal. Apabila tidak dikendalikan penyakit ini akan menimbulkan penyakit-penyakit yang dapat berakibat fatal, termasuk amputasi pada gangren (www.gangren.com).
Gangren adalah luka yang berakhir dengan kematian syaraf atau jaringan yang disebabkan oleh gangguan pengaliran darah ke jaringan tersebut, biasanya ini terjadi dalam jumlah besar dan umumnya diikuti dengan kehilangan persediaan nutrisi dan invasi bakteri, serta pembusukan (www.gangren.com)
Beberapa pengertian di atas gangren diabetes melitus adalah luka sebagai komplikasi dari penyakit diabetes melitus karena terganggunya pengaliran darah kejaringan yang menyebabkan luka membusuk, mengeluarkan pus dan bau.

2. Anatomi dan Fisiologi Pankreas
Pankreas merupakan organ yang panjang dan ramping, panjangnya sekitar 6 inchi dan lebarnya 1,5 inchi, pankreas letaknya retroperitoneal dan dibagi 3 segmen utama : kaput, corpus, dan kauda. Kaput terletak pada bagian cekung duodenum dan kauda menyentuh limpa.
Pankreas merupakan kelenjar kompleks tubulo, secara keseluruhan pankreas merupakan setangkai anggur cabang-cabangnya merupakan saluran yang bermuara pada duktus pankreas utama. Saluran-saluran utama berjalan disepanjang kelenjar, bersatu dengan ductus koledokus pada ampula vater. Sebelum masuk ke duodenum saluran tambahan ductus santorini ditemukan berjalan dari kaput pankreas masuk ke duodenum sekitar 1 inchi di atas papila duodenum.

Gambar 2.1 Pankreas
(Sumber : Brunner & Suddarth, 2002 : 1150)

Adapun fungsi pankreas dibentuk dari dua sel dasar yang mempunyai fungsi sangat berbeda, sel-sel esokrin yang berkelompok-kelompok disebut asini menghasilkan unsur-unsur getah pankreas sel-sel endokrin atau pulau langerhans menghasilkan sekret endokrin insulin dan glukosa yang penting untuk metabolisme karbohidrat.

Gambar 2.2. Anatomi Fisiologi Pankreas
(Sumber : Guton 1995 : 609)

3. Tanda dan Gejala
a. Gejala Akut
Gejala akut penderita diabetes melitus tidaklah sama, gejala yang disebutkan di bawah ini adalah gejala yang umumnya timbul dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya variasi gejala-gejala lain bahkan ada penderita diabetes melitus yang tidak menunjukkan gejala apapun sampai saat tertentu pada permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi tiga serta banyak, yaitu banyak makan, banyak minum, dan banyak kencing. Bila keadaan berlanjut dan tidak diobati dengan cepat akan timbul gejala yang disebabkan kurangnya insulin, yaitu banyak minum dan sering kencing, berat bedan menurun, dan mudah lelah.
b. Gejala Kronik
Gejala kronik diabetes melitus timbul setelah beberapa bulan atau beberapa tahun mengidap penyakit diabetes yang menyebabkan luka gangren, gejala tersebut diantaranya :
1. Kesemutan, kulit terasa panas atau seperti ditusuk jarum.
2. Rasa tebal dikulit, kram, mudah lelah dan ngantuk.
3. Mata kabur, biasanya sering diganti kacamata
4. Gatal sekitar kemaluan pada wanita.
5. Gigi mudah lepas dan musah goyah.
6. Kemampuan seksual pada pria menurun sampai impoten.
7. Nyeri saat istirahat.
8. Kerusakan jaringan (nekrotik).

4. Etiologi
Diabetes Melitus ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pankreas kombinasi faktor genetik, imunologi dan mungkin oleh lingkungan (misalnya infeksi virus) diperkirakan turut menimbulkan destruksi sel beta.
Faktor-faktor imunologi pada diabetes melitus terdapat bukti adanya suatu proses autoimun. Respon ini merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan asing.
Faktor-faktor lingkungan hasil penyelidikan yang menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang menimbulkan destruksi sel beta (Brunner dan Sudarth, 2002 : 1224).
Penderita penyakit diabetes melitus yang kurang terkontrol akan cenderung untuk menjadi pertumbuhan bakteri, terutama bakteri golongan mikrobakteri dan anerob yang perannya cukup besar, yaitu bekerja secara sinergis dalam pembentukan gas kemudian menjadi gangren. Disamping itu gangren akan mengalami infeksi akibat munculnya lingkungan gula darah yang subur untuk berkembangnya bakteri-bakteri patogen. Karena kekurangan suplai oksigen bakteri akan tumbuh besar (www.gangren.com).
5. Patofisiologi
Diabetes melitus terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel beserta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun hiperglikemia terjadi akibat glukosa yang tidak teratur oleh hati disamping itu glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia post prandial (sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali glukosa yang tersaring keluar : glukosa yang berlebihan diekskresikan ke dalam elektrolit yang dinamakan diuresisosmotik.
Kehilangan cairan yang berlebihan akan mengalami peningkatan berkemih (poliuri) dan rasa haus (polidipsi). Akibat menurunnya simpanan kalori (gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan).
Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glukogenosis (pembentukan glukosa baru dari asam-asam amino serta substansi lain) namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan terjadi hiperglikemia pemecahan lemak dapat mengakibatkan produksi badan-badan keton meningkat. Badan-badan keton merupakan asam yang mengganggu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan akan mengakibatkan ketoasidosis. Ketoasidosis diabetik menimbulkan gejala nyeri abdomen, mual muntah hiperpentilasi nafas berbau keton, bila tidak ditangani menimbulkan perubahan kesadaran bahkan kematian.
6. Manajemen Medik Secara Umum
Untuk mencapai kontrol gula darah yang baik, maka pengobatan diabetes melitus dengan menggunakan pemberian insulin, sedangkan untuk pengobatan gangren menggunakan antibiotik. Disamping itu dibutuhkan juga pengaturan diet dan olahraga.
a. Diet
Diet diabetes melitus merupakan sesuatu yang paling penting dalam pengobatan diabetes melitus, tujuan pemberian diet diabetes melitus adalah untuk mempertahankan Ph ideal pasien atau setidaknya meningkatkan berat badan, untuk mencapai nilai glukosa darah yang normal, mencegah komplikasi akut seperti ketoasidosis dan hiperglikemi serta mencegah komplikasi degeneratif diabetes melitus. Syarat diet ini ditentukan oleh umur, jumlah karbohidrat disesuaikan dengan tubuh untuk penggunaannya. Pemberian makanan disesuaikan dengan jenis obat yang dipakai jika berupa tablet atau suntikan 3 x sehari. Sebagai pedoman digunakan diet diabetes melitus sebagai berikut :

Tabel 2.1.
Macam-macam diet diabetes melitus (I-VII)
Macam Diet Kal
(kal) Protein
(gm) Lemak Karbohidrat
(gram)

I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII 1100
1300
1500
1700
1900
2100
2300
2500 50
55
60
65
70
80
85
90 30
35
40
45
50
55
60
65 160
195
225
260
300
325
350
390
(Sumber : Penuntun Diet)

Keterangan
Diet I-III Diberikan pada pasien yang terlalu gemuk
Diet IV-V Diberikan pada pasien yang mempunyai BB normal
Diet VI-VII Diberikan pada pasien dengan BB kurus Diabetes Juvenil atau diabetes dengan komplikasi.

b. Olahraga
Olahraga merupakan komponen penting dalam pengobatan diabetes melitus, keuntungannya bisa meningkatkan sensitivitas insulin, potensial peningkatan toleransi glukosa pada beberapa pasien, meningkatkan kehilangan berat badan dan meningkatkan status kardiovaskuler memerlukan nilai kolesterol dan trigliserida potensial penurunan insulin dan obat anti diabetik serta meningkatkan kebugaran. Faktor yang harus dipertimbangkan mencakup tipe diabetes, usia, kondisi medis pasien, dan perubahan keberadaan degeneratif dalam waktu yang lama.

7. Dampak
a. Dampak Pada sistem Cardiovaskuler
Penyakit arteri coroner : perubahan aterosklerosis dalam pembuluh arteri koroner menyebabkan peningkatan indent infak miokard pada penderita diabetes melitus terdapat gejala iskemik yang khas seperti sakit dada 50% hingga 60% dapat menyebabkan kematian. (Brunner & Suddarth, 2002 : 1268).
Pengecilan lumen pembuluh darah besar membahayakan pengiriman oksigen kejaringan-jaringan dan dapat menyebabkan iskemia jaringan dengan akibat yang timbul berupa penyakit serebrovaskuler, penyakit arteri koroner, stenosis arteri, dan penyakit-penyakit vaskuler perifer (Barbara C Long, 1997 : 14) akibatnya dapat timbul gejala penyakit serebrovaskuler.
b. Dampak Pada Sistem Pernafasan
Pada keadaan ketoasidosis yang disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak mencukupi akan menyebabkan nafas berbau aseton, hiperventilasi, pernafasan kusmaul. Pernafasan kusmaul menggambarkan upaya tubuh mengurangi asidosis guna melawan efek dari pembentukan badan keton akibatnya pada klien akan mengalami gangguan pola pernafasan (Brunner & Suddarth, 2002 : 1259).
c. Dampak Pada Sistem Pencernaan
Pada keadaan hiperglikemi akan terjadi pemecahan lemak sehingga asam-asam lemak meningkat, badan keton meningkat, menyebabkan nafas berbau aseton sehingga selera makan buruk, anoreksia, mual muntah, konstipasi hingga nyeri abdomen (Brunner & Suddarth, 2002 : 1254). Akibatnya klien mengalami perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
d. Dampak Pada Sistem Perkemihan
Apabila jumlah insulin berkurang maka jumlah glukosa yang memasuki sel akan berkurang pula. Disamping itu produksi glukosa oleh hati menjadi tidak terkendali. Kedua faktor ini menyebabkan hiperglikemia. Dalam upaya untuk menghilangkan glukosa, ginjal akan mengeksresikan glukosa bersama-sama air dan elektrolit (seperti natrium dan kalsium) diuresis osmotik yang ditandai dengan urinasi berlebihan (Poliuri) akan menyebabkan dehidrasi dan kehilangan elektrolit. (Brunner & Suddarth, 2002 : 1258). Akibatnya akan mengalami perubahan pola eliminasi BAK, resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
e. Dampak Pada Sistem Persyarafan
Diabetes melitus dapat mempengaruhi saraf-saraf perifer, sistem saraf otonom, medula spinalis atau sistem saraf pusat. Jenis neuropati yang lazim ialah polineuropati perifer simetris terlihat dengan hilangnya sensasi pada ujung-ujung saraf ekstremitas bawah, kemudian hilangnya kemampuan motorik bahkan ekstremitas atas akan terjadi. Akibatnya akan mengalami luka yang tak sembuh-sembuh (Gangren).
f. Dampak Pada Sistem Muskoloskeletal
Klien dapat mengalami gangguan mobilisasi karena kelemahan atau akibat amputasi jika luka gangren tak sembuh-sembuh atau jika luka gangren mengalami perluasan sampai ke tulang (Brunner & Suddarth, 2002 : 1276). Akibat yang ditimbulkan intoleransi aktivitas dan gangguan rasa nyaman nyeri.
g. Dampak Pada Sistem Integumen
Pada diabetes melitus yang tidak terkontrol akan mengalami penurunan resistensi terhadap infeksi (Brunner & Suddarth, 2002 : 1276). Akibat yang ditimbulkan yaitu kerusakan integritas kulit dan jaringan.
h. Dampak Psikososial
1) Dampak Psikologis
Biasanya klien dengan gangren diabetes melitus merasa cemas akan keadaan penyakitnya atau takut terjadinya amputasi jika luka gangren tidak sembuh-sembuh atau mengalami perluasan sampai ke tulang.
2) Dampak Seksual
Dapat menyebabkan disfungsi seksual yang disebabkan oleh karena kerusakan secara mikroskop dari jaringan saraf.
3) Dampak Terhadap Pekerjaan
Klien terancam kehilangan pekerjaan yang disebabkan oleh karena penurunan kemampuan fisik akibat luka gangren yang tak sembuh-sembuh.
4) Dampak Sosial
Gangguan sosial disebabkan oleh adanya prosedur amputasi karena luka gangren yang tak sembuh-sembuh atau mengalami perluasan sampai ke tulang.

B. Proses Keperawatan
Proses keperawatan terdiri dari 4 tahap yaitu pengkajian, perencanaan, implementasi, dan evaluasi yang masing-masing saling berkaitan satu sama lainnya.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap pertama proses keperawatan dimana data dikumpulkan (Doengoes, ME, 1998 : 14).
a. Pengumpulan Data
1) Identitas Klien mencakup : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, diagnosa medis, no. RM, tanggal masuk, tanggal pengkajian dan ruangan tempat klien dirawat. Identitas penanggungjawab mencakup : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.
2) Riwayat Kesehatan
a) Keluhan utama merupakan keluhan klien pada saat dikaji dan bersifat subjektif (Arif Mansjoer, 1999 : 434). Pada klien diabetes melitus sering terdapat triaspoli yaitu : polipagi, polidifsi, dan poliuri. Selain itu sering juga keluhan penurunan BB dan adanya luka yang tidak sembuh-sembuh (Gangren).
b) Riwayat Kesehatan Sekarang
Dikembangkan dari keluhan utama dengan menggunakan PQRST
Paliatif : Apa yang menjadi penyebab hal-hal yang meringankan dan memperberat.
Qualiti : Seberapa berat keluhan terasa, bagaimana rasanya, seberapa sering terjadi.
Region : Lokasi keluhan ditemukan atau dirasakan apakah menyebar ke arah lain/daerah area penyebaran.
Severity : Skala kegawatan (GCS untuk gangguan kesadaran) nyeri dengan menggunakan skala 1-10.
Time : Kapan keluhan tersebut dirasakan/ seberapa sering keluhan tersebut dirasakan atau terjadi, apakah terjadi secara mendadak atau bertahap. (Depkes).

c) Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Pada kasus ini dikaji riwayat kesehatan masa lalu, kaji tentang pola makan, kaji adanya riwayat obesitas, sering stress, penyakit sistemik lain seperti hipertensi atau ginjal. Kaji apakah klien pernah terinfeksi virus, terutama menyerang pankreas, kaji apakah pernah menggunakan obat-obatan atau alkohol.
d) Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji apakah ada anggota keluarga yang lain yang menderita gangren, diabetes melitus atau penyakit sistemik lainnya apabila ada buat genogram.



3) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan teknik infeksi, palpasi, perkuasi, auskultasi.
a) Sistem Pernafasan
Kaji apakah klien merasa sesak (seperti pernafasan kusmaul) dimana hal ini dapat terjadi pada klien dengan Diabetes Melitus yang sudah lama dengan komplikasi kelainan jantung dan adanya oedema.
b) Sistem Kardiovaskuler
Data yang dikaji adalah tekanan darah, nadi (frekuensi, irama), warna konjungtiva, bunyi jantung, kehangatan ekstremitas, capirely refil time dan biasanya terjadi kelelahan, serta kelainan jantung dapat terjadi pada penderita stadium lanjut.
c) Sistem Pencernaan
Kaji apakah klien mengalami penurunan atau kenaikan berat badan, dan apakah klien merasa mudah lapar (poliphagia).
d) Sistem Perkemihan
Biasanya mengalami glukosuria dan polidipsi pada stadium lanjut biasanya klien sering kencing dimalam hari dan terjadi kerusakan ginjal, untuk sistem reproduksi terjadi disfungsi seksual.
e) Sistem Muskuloskeletal
Klien dapat mengalami gangguan mobilisasi karena kelemahan atau akibat amputasi jika luka gangren tidak sembuh-sembuh.
f) Sistem Integumen
Biasanya turgor kulit menurun, bisul, gatal-gatal, luka yang tak sembuh-sembuh (gangren) dan ada penurunan suhu tubuh.
g) Sistem Endokrin
Kaji apakah ada triaspoli di antaranya poliphagi, polidispi, dan poliuri.
h) Sistem Persarafan
Kaji apakah klien mengalami penurunan fungsi sensori motorik dan cranial.
4) Pola Kebiasaan
Kaji kebiasaan klien seperti pola makan, minum, pola eliminasi, pola istirahat, tidur pola personal hygiene, dan pola aktivitas.
5) Data Psikososial
Kaji mengenai konsep diri, status emosi dan kecemasan. Konsep diri ada 5 komponen yaitu :
a) Body Image / gambaran diri
Mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk dan potensi tubuh saat ini setelah adanya perubahan pada tubuh karena amputasi luka yang tidak sembuh-sembuh (gangren).
b) Harga Diri
Yaitu penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh memenuhi ideal diri, aspek utama adalah dicintai dan menerima penghargaan dari orang lain.
c) Ideal Diri
Yaitu standar yang berhubungan dengan tipe orang yang diinginkan atau sejumlah aspirasi, cita-cita dan nilai yang ingin dicapai setelah adanya prosedur amputasi akibat luka yang tidak sembuh-sembuh atau penyakit yang menahun.
d) Peran
Yaitu pola sikap, prilaku dan nilai serta tujuan yang diharapkan dari seseorang setelah adanya perubahan tubuh (amputasi) berdasarkan posisinya dikeluarga ataupun di masyarakat.
e) Identitas
Yaitu kesadaran akan diri sendiri setelah adanya perubahan pada tubuh (amputasi) akibat luka yang tidak sembuh-sembuh yang bersumber dari observasi dan penilaian yang merupakan suatu sintesi dari semua aspek konsep diri.
6) Data Sosial
Pada aspek ini perlu dikaji mengenai hubungan klien dengan keluarga, tetangga, masyarakat, dan perawat ruangan.
7) Data Spiritual
Kaji tentang pengetahuan klien terhadap penyakitnya apakah merupakan suatu cobaan atau kutukan, kaji juga tentang harapan klien terhadap penyakit dan penyembuhannya.
8) Data Penunjang
Glukosa Darah : Meningkat 100-200 mg/dl atau lebih
Aseton Plasma (keton) : Positif secara mencolok
Asam lemak bebas : Kadar lipid dan kolesterol meningkat.
Osmolaritas serum : Meningkat tetapi biasanya kurang dari 330 mosm/L
Natrium : Mungkin normal, meningkat atau menurun.
Kalium : Normal atau meningkat semu (perpindahan seluler) selanjutnya menurun
Gas darah arteri : Menunjukkan Ph rendah dan penurunan pada HCO3 (asidosis metabolik) dengan kompensasi alkohol reiratorik.
Urium /kreatinin : Mungkin meningkat atau normal (dehidrasi) atau penurunan fungsi sinyal.
Amilase darah : Mungkin meningkat yang mengindikasikan adanya pankreatitis akut.
Insulin Darah : Mungkin menurun bahkan sampai tidak ada.
Kultur dan Sensitivitas : Kemungkinan adanya infeksi pada saluran kemih, infeksi pernafasan dan infeksi pada luka.

9) Analisa Data
Analisa data adalah menghubungkan data yang diperoleh dengan konsep teori dan prinsip asuhan keperawatan yang relevan dengan kondisi klien membandingkan data dan menentukan adanya kesenjangan data, serta membuat kesimpulan tentang masalah yang ada.
10) Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menjelaskan status atau masalah kesehatan aktual atau potensial (Doengoes 2000 : 8). Diagnosa yang mungkin muncul pada klien dengan gangguan sistem endokrin : gangren diabetes melitus adalah :
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik (dari hiperglikemia).
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan status hiper metabolisme : pelepasan hormon stress (misalnya epineprin kortisol, dan hormon pertumbuhan infeksius).
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan : kadar glukosa tinggi, penurunan fungsi leukosit, perubahan pada sirkulasi.
4. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan kimia endogen/insulin dan elektrolit.
5. Kelelahan berhubungan dengan peningkatan kebutuhan energi : Status hipermetabolik atau infeksi.
6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak mengenalnya sumber informasi.
7. Gangguan body image berhubungan dengan hilangnya anggota tubuh.




2. Perencanaan
Perencanaan merupakan petunjuk untuk penanganan aktivitas dan tindakan yang membantu klien dalam mencapai hasil yang diharapkan (Doengoes, 2000 : 720). Adapun rencana tindakan berdasarkan diagnosa keperawatan yang timbul pada klien dengan gangren diabetes melitus adalah :
a. Diagnosa Keperawatan ke-1
Tujuan : mempertahankan hidrasi yang adequat
Intervensi Rasional

1. Dapatkan riwayat pasien atau orang terdekat sehubungan dengan lamanya/ intensitas dari gejala seperti muntah, pengeluaran urine yang berlebihan.




2. Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD ortostatik.



3. Pantau suhu, warna kulit dan atau kelembaban.

4. Kaji nadi periper pengisian kapiler turgor kulit dan mukosa

5. Ukur berat badan setiap hari

6. Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari dalam batas yang dapat ditoleransi jantung. Jika pemasukan cairan melalui oral sudah dapat diberikan. 1. Membantu dalam memperkirakan kekurangan volume total, tanda dan gejala mungkin sudah ada pada beberapa waktu sebelumnya (beberapa jam sampai beberapa hari). Adanya proses infeksi mengakibatkan demam dan keadasan hipermatabolik yang mengakibatkan kehilangan cairan tidak kasat mata.
2. Hipopolemik dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardia. Perkirakan berat ringannya hipopolemia dapat dibuat ketika tekanan darah sistolik pasien turun dari 10mm/Hg dari posisi berbaring ke posisi duduk atau posisi berdiri.
3. Meskipun demam, menggigil dan diaforesis merupakan hal umum terjadi pada proses infeksi, demam dengan kulit kemerahan, kering mungkin sebagai cermin dehidrasi.
4. Merupakan indikator dari tingkat indikasi atau volume sirkulasi yang adequat.
5. Memberikan hasil pengkajian yang terbaik dari status cairan yang sedang berlangsung dan selanjutnya dalam memberikan cairan pengganti.
6. Mempertahankan hidrasi atau volume sirkulasi.

b. Diagnosa Perawatan ke-2
Tujuan : mempertahankan berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya/yang diinginkan dengan nilai laboratorium normal
Intervensi Rasional

1. Timbang berat badan setiap hari atau sesuai indikasi.

2. Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan pasien.

3. Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen/ perut kembung mual, muntah makanan yang belum sempat dicerna, pertahankan keadaan puasa sesuai dengan indikasi.

4. Berikan makanan cairan yang mengandung zat makanan/nutrien dan elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui pemberian cairan, melalui oral, dan selanjutnya terus mengupayakan pemberian makanan yang lebih padat sesuai dengan yang dapat ditoleransi.

5. Identifikasi makanan yang disukai termasuk kebutuhan etnik, kultur.

6. Libatkan keluarga pasien pada perencanaan makan pasien sesuai dengan indikasi.

7. Melakukan konsultasi dengan ahli diet.

1. Mengkaji asupan makanan yang adequat.


2. Mengindikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan terapeutik.

3. Hiperglikemia dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dapat menurunkan motilitas fungsi lambung/(distensi paralitik)

4. Pemberian melalui oral lebih baik jika pasien sadar dan fungsi gastrointestinal baik.

5. Jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam perencanaan makan kerjasama ini diupayakan setelah pulang.

6. Meningkatkan rasa keterlibatannya, memberikan informasi pada keluarga untuk memahami kebutuhan nutrisi pasien.

7. Sangat bermanfaat dalam perhitungan dan penyesuaian diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.

c. Diagnosa Keperawatan ke-3
Tujuan : Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/ menurunkan resiko infeksi.
Intervensi Rasional

1. Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan seperti demam, kemerahan, adanya pus pada luka, sputum purulen urine warna keruh atau berkabut.

2. Tingkatkan upaya pencegahan dengan melakukan cuci tangan yang baik pada semua orang yang berhubungan dengan pasien termasuk pasiennya sendiri
3. Berikan perawatan kulit dengan teratur dan sungguh-sungguh, masage daerah tulang yang tertekan, jaga kulit tetap kering dan tetap kencang (tidak berkerut).
4. Bantu pasien untuk melakukan oral higiene.
5. Anjurkan untuk makan dan minum dengan adequat (pemasukan makanan dan cairan adequat) (kira-kira 3000 ml/hari jika tidak ada kontra indikasi).



6. Kolaborasi bersama dokter untuk pemberian obat antibiotik yang sesuai. 1. Pasien mungkin masuk dengan infeksi yang biasanya telah mencetuskan keadaan ketoasidosis atau dapat mengalami infeksi nosokomial.

2. Mencegah timbulnya infeksi silang (infeksi nasokomial).


3. Sirkulasi perifer bisa terganggu yang menempatkan pasien pada peningkatan resiko terjadinya kerusakan pada kulit/ iritasi kulit dan infeksi.
4. Menurunkan resiko terjadinya penyakit mulut/gusi.
5. Menurunkan terjadinya penyakit mulut/ gusi. Meningkatkan aliran urine untuk mencegah urine yang statis dan membantu dalam mempertahankan Ph/keasaman urine, yang menurunkan pertumbuhan bakteri dan pengeluaran organisme dari sistem organ tersebut.
6. Penanganan awal dapat membantu mencegah timbulnya sepsis.

d. Diagnosa Keperawatan ke-4
Tujuan : Mempertahankan tingkat mental biasanya
Intervensi Rasional

1. Pantau tanda-tanda vital dan status mental.



2. Panggil pasien dengan nama, orientasikan kembali sesuai dengan kebutuhannya, misalnya terhadap tempat, orang dan waktu. Berikan penjelasan yang singkat dengan berbicara perlahan dan jelas.
3. Jadwalkan intervensi keperawatan agar tidak terganggu waktu istirahat pasien.
4. Pelihara aktivitas rutin pasien sekonsisten mungkin, dorong untuk melakukan kegiatan sehari-hari sesuai kemampuan-nya.
5. Berikan tempat tidur yang lembut, pelihara kehangatan kaki/tangan, hindari terpajan terhadap air panas atau dingin atau penggunaan bantalan/ pemanas.



6. Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi. 1. Sebagai dasar untuk membandingkan temuan abormal, seperti suhu yang meningkat dapat mempengaruhi fungsi mental.
2. Membantu kebingungan dan membantu untuk mempertahankan kontak dengan realitas.


3. Meningkatkan tidur, menurunkan rasa letih, dan dapat memperbaiki daya pikir.
4. Membantu memelihara pasien tetap berhubungan dengan realitas dan mempertahankan orientasi pada lingkungan.
5. Meningkatkan rasa nyaman dan menurunkan kemungkinan kerusakan kulit karena panas. Munculnya dingin yang tiba-tiba pada tangan dan kaki dapat mencerminkan adanya hipoglikemia, yang perlu untuk melakukan pemeriksaan terhadap kadar gula darah.
6. Meningkatkan keamanan pasien terutama ketika rasa keseimbangan dipengaruhi


e. Diagnosa Keperawatan ke-5
Tujuan : Menunjukkan perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan.
Intervensi Rasional

1. Diskusikan dengan pasien kebutuhan akan aktivitas. Buat jadwal perencanaan dengan pasien dan identifikasi aktivitas yang menimbulkan kelelahan.
2. Berikan aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup/ tanpa diganggu.
3. Pantau nadi, frekuensi pernafasan dan tekanan darah sebelum/ sesudah melakukan aktivitas.
4. Diskusikan cara menghemat kalori selama mandi, berpindah tempat dan sebagainya.


5. Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai dengan yang dapat ditoleransi. 1. Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan tingkat aktivitas meskipun pasien mungkin sangat lemah.

2. Mencegah kelelahan yang berlebih.

3. Mengindikasikan tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi secara fisiologis.

4. Pasien akan dapat melakukan lebih banyak kegiatan dengan penurunan kebutuhan akan energi pada setiap kegiatan.
5. Meningkatkan kepercayaan diri/harga diri yang positif sesuai tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi pasien.








f. Diagnosa Perawatan ke-6
Tujuan Mengungkapkan pemahaman tentang penyakit dan melakukan perubahan gaya hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan.
Intervensi Rasional

1. Ciptakan lingkungan saling percaya dengan mendengarkan penuh perhatian, dan selalu ada untuk pasien.

2. Bekerja dengan pasien dalam menata tujuan belajar yang diharapkan.


3. Diskusikan tentang rencana diet, penggunaan makanan tinggi serat dan cara untuk melakukan makan di luar rumah.



4. Identifikasi gejala hiperglikemia (misal : lemah, pusing letargi lapar, peka terhadap rangsangan, diaforesis, pucat takikardi, tremor, sakit kepala, dan perubahan mental) dan jelaskan penyebabnya. 1. Menanggapi dan memperhatikan perlu diciptakan sebelum pasien bersedia mengambil bagian dalam proses belajar.

2. Partisipasi dalam perencanaan meningkatkan antusias dan kerjasama pasien dengan prinsip-prinsip yang dipelajari.
3. Kesadaran tentang pentingnya kontrol diet akan membantu pasien dalam merencanakan makan/ menaati program. Serat dapat memperlambat absorbsi glukosa yang akan menurunkan frekuensi kadar gula dalam darah.
4. Dapat meningkatkan deteksi dan pengobatan lebih awal dan mencegah/ mengurangi kejadiannya. Hiperglikemia saat bangun tidur dapat mencerminkan fenomena fajar (indikasi perlunya insulin tambahan) atau respons balik pada hipoglikemia selama tidur.

g. Diagnosa Perawatan ke-7
Tujuan : Menyatakan masalah dan menunjukkan cara yang sehat untuk menghadapinya.
Intervensi Rasional

1. Beri waktu untuk mendengarkan masalah diskusikan persepsi diri klien sehubungan dengan antisipasi perubahan dan pola hidup khusus.
2. Kaji stress emosi klien. Identifikasi kehilangan pada orang terdekat. Dorong klien untuk mengekpresikan dengan cepat.

3. Beri informasi yang akurat, kuatkan informasi yang diberikan sebelumnya.
4. Ketahui kekuatan individu dan indikasi perilaku koping positif sebelumnya. 1. Memberikan minat dan perhatian memberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan konsep.

2. Perawat perlu menyadari apakah tindakan ini terhadap pasien untuk menghindari tindakan kurang hati-hati atau terlalu menyendiri.
3. Memberikan kesempatan klien untuk bertanya dan mengasimilasi informasi.
4. Membantu dalam membuat kekuatan yang telah ada bagi pasien untuk digunakan dalam situasi saat ini.

3. Implementasi
Pelaksanaan merupakan perwujudan dari rencana asuhan keperawatan, meliputi tindakan-tindakan yang telah direncanakan. Pada tahap ini perawat menerapkan keterampilan pengetahuan berdasarkan ilmu keperawatan disiplin ilmu lainnya secara menyeluruh. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pelaksanaan rencana keperawatan antara lain fasilitas peralatan yang dibutuhkan, pengorganisasian pekerjaan perawat serta lingkungan. Kemudian perawat mendokumentasikan segala tindakan yang telah dilakukan, disamping sebagai sarana komunikasi antar tim kesehatan lainnya, juga digunakan sebagai bentuk pertanggunjawaban yang telah diberikan (Nursalam, 2001:63).
4. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. (Nursalam, 2001 : 21)