Jumat, 19 Maret 2010

Asuhan Keperawatan Tn A dengan Benigna Prostat Hipertropi (BPH)

Asuhan Keperawatan Tn A dengan Benigna Prostat Hipertropi (BPH)


A. Konsep Dasar Penyakit
1. Pengertian Benigna Prostat Hipertropi (BPH)
a. Benigna Prostat Hipertropi (BPH) adalah pertumbuhan dari nodula-nodula fibroadenomatosa majemuk dalam prostat, jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa yang jumlahnya berbeda-beda. (Price, 2005 : 1154).
b. BPH adalah suatu keadaan dimana kelenjar prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine dengan menutupi orifisium uretra (Brunner and Suddart, 2001 : 1625).
c. BPH adalah pembesaran adenomatous dari kelenjar prostat, lebih dari setengahnya dan orang yang usianya diatas 50 tahun dan 75 % pria yang usianya 70 tahun menderita pembesaran prostat (C. Long, 1996 :331).
d. BPH adalah pembesaran dari kelenjar prostat yang disebabkan oleh bertambahnya sel-sel glanduler dan Interstitial, sehingga sebenarnya lebih tepat disebut hyperplasia atau adenoma psostat (Rumahorbo, 2000 : 70).
Dari beberapa pengertian diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Benigna Prostat Hipertropi (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat yang disebabkan oleh bertambahnya sel-sel glanduler dan interstitial atau pertumbuhan dari nodula-nodula fibroadenomatosa yang menutupi orifisium uretra sehingga menyumbat aliran urine, dan biasanya terjadi pada pria diatas usia 50 tahun.

2. Anatomi dan Fisiologi Prostat
Kelenjar prostat kira-kira berukuran dan berbentuk seperti kacang mete, kelenjar prostat terletak tepat di bawah leher kandung kemih, di belakang simfisis pubis, dan di depan rektum. Kelenjar ini mengelilingi uretra dan dipotong melintang oleh duktus ejakulatorius, yang merupakan kelanjutan vas deferens. Dengan pemeriksaan rectal, prostat dapat teraba berbentuk bulat dengan sulkus mediana atau kubah yang memisahkan kedua lobus, prostat harus teraba keras dan tidak teraba nodula dan massa. Perhatikan gambar 2.1 dan 2.2 dibawah ini struktur sistem perkemihan pada laki-laki dan kelenjar prostat normal.
Gambar. 2.1
Gambar. 2.2








Fungsi kelenjar prostat adalah mengeksresi cairan alkali yang mengandung asam nitrat, kalsium serta zat-zat lain. Selama ejakulasi, kapsula kelenjar prostat berkontraksi bersama dengan vas deferen dan vesika seminalis. Hasil akhir metabolisme sperma dan sekret vagina yang asam mengakibatkan cairan vas deferens relatif asam sehingga akan menghambat fertilitas dan motilitas sperma sedangkan sperma dapat bergerak optimum jika PH cairan sekitar 6 – 6,5, hal ini memungkinkan cairan prostat menetralkan keasaman cairan tersebut setelah ejakulasi sehingga akan meningkatkan pergeseran dan sangat penting untuk keberhasilan fertilisasi ovum.

3. Patofisiologi BPH
Penyebab BPH belum diketahui secara pasti tetapi beberapa literatur menyebutkan bahawa BPH kemungkinan disebabkan oleh perubahan hormon, terutama hormon testosteron. Homon testosteron dapat mempengaruhi pertumbuhan prostat sehingga dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan keseimbangan testoteron estrogen karena jumlah atau produksi hormon testoteron berkurang dan terjadi konversi testoteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer. Berdasarkan penelitian bagian yang peka terhadap hormon estrogen adalah bagian tengah dan bagian yang peka terhadap hormon androgen bagian tepi dengan demikian pada orang tua bagian tengah yang mengalami pembesaran hal ini disebabkan hormon androgen berkurang sedangkan estrogen bertambah relatif. Akibat dari perubahan hormon tersebut jaringan stromal dan elemen glandular mengalami hiperplasia (Samsuhidajat, 2004 : 782).

4. Dampak BPH Terhadap Sistem Tubuh
a. Sistem Perkemihan
Menurut Rumahorbo (2000 : 70), perubahan yang terjadi akibat pembesaran kelenjar prostat pada sistem perkemihan dapat dilihat pada :
1) Perubahan sekunder kandung kemih
Obstruksi yang disebabkan oleh adanya pembesaran kelenjar prostat menyebabkan otot destrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus, hal tersebut menyebabkan otot destuktor mengadakan kompensasi berupa penebalan pada dinding kandung kemih yang bertujuan untuk mengadakan kontraksi yang lebih kuat. Perubahan ini mengakibatkan sukar berkemih, sehingga harus mengedan saat berkemih, urine keluar dengan menetes dan pancaran miksi menjadi lemah serta merasa belum puas setelah berkemih.
Penebalan dinding kandung kemih atau trabekulasi dan adanya divertikulasi, maka dapat terjadi hyperthrophy trigonum dan inter uteric ridge, sehingga terjadi refluk urine ke ureter, hal ini menyebabkan infeksi karena sisa urine.
Apabila kandung kemih menjadi dekompensasi karena penebalan dari dinding kandung kemih akan terjadi retensi urine sehingga pada akhir miksi masih ada sisa urine dalam kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Sisa urine bertambah banyak sehingga menimbulkan gejala klinik seperti retensi urine kronik, tonus otot kandung kemih melemah dan akan terjadi kelumpuhan otot destrusor dan spingter uretra sehingga terjadi inkontinensia urine atau urine menetes secara periodik. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total dan tidak mampu lagi miksi sehingga menyebabkan tekanan intra vesika meningkat karena ketidakmampuan vesika untuk menampung urine.
2) Perubahan pada ureter dan ginjal
Hipertropi trigonum inter uteric ridge dan peningkatan tekanan intra vesika disertai retensi urine kronik, menyebabkan aliran urine ke ureter atau refluks vesiko-ureter (Hidroureter). Jika hal ini terus berlanjut ke ginjal, maka akan terjadi uretrohidronefrosis yang lambat laun akan terjadi renal failure, uremia, dan azotemia (akumulasi produk sampah nitrogen).
3) Infeksi
Karena urine bertambah didalam kandung kemih dalam waktu cukup lama kemungkinan akan terjadi cystitis, ureteritis, dan pyelonefritis. Adanya infeksi dapat mempercepat kerusakan ginjal.
b. Sistem Pencernaan
BPH dapat menimbulkan gejala anoreksia, mual, muntah dan rasa tidak nyaman pada epigastrik (Brunner & Suddart, 2001 : 1625). Hal ini mungkin disebabkan karena tekanan intravesika yang meningkat sehingga menekan pada lambung dan ulu hati. Menurut Samsuhidajat (2004 : 783), biasanya pada pasien BPH akan mengalami hernia dan hemoroid, karena pada saat BAK selalu mengedan
c. Sistem Persarafan
Klien dengan BPH akan mengalami nyeri akibat distensi kandung kemih, iritasi mukosa, obstruksi yang merangsang reseptor nyeri dan diteruskan ke susunan saraf pusat (C. Long, 1996 : 331).

d. Sistem Integumen
Pada klien BPH akan menjalani tirah baring akibat adanya nyeri, sehingga keadaan tersebut menyebabkan sirkulasi perifer pada area yang tertekan tidak adequat. Hal ini dapat menyebabkan luka tekan (C. Long, 1996 : 378).
e. Sistem Kardiovaskuler
Terjadi peningkatan beban kerja jantung, kegagalan pembuluh darah pada vesika urinaria. Dengan terjadinya vasokontriksi mengakibatkan darah vena terkumpul sehingga aliran vena menjadi berkurang dan kardiak output menurun (C. Long, 1996 : 378).

5. Klasifikasi BPH
Menurut Rumahorbo (2000 : 71), terdapat empat derajat pembesaran kelenjar prostat yaitu sebagai berikut :
a. Derajat Rektal
Derajat rektal dipergunakan sebagai ukuran dari pembesaran kelenjar prostat ke arah rektum. Rectal toucher dikatakan normal jika batas atas teraba konsistensi elastis, dapat digerakan, tidak ada nyeri bila ditekan dan permukaannya rata. Tetapi rectal toucher pada hipertropi prostat di dapatkan batas atas teraba menonjol lebih dari 1 cm dan berat prostat diatas 35 gram.
Ukuran dari pembesaran kelenjar prostat dapat menentukan derajat rectal yaitu sebagai berikut :
1). Derajat O : Ukuran pembesaran prostat 0-1 cm
2). Derajat I : Ukuran pembesaran prostat 1-2 cm
3). Derajat II : Ukuran pembesaran prostat 2-3 cm
4). Derajat III : Ukuran pembesaran prostat 3-4 cm
5). Derajat IV : Ukuran pembesaran prostat lebih dari 4 cm
Gejala BPH tidak selalu sesuai dengan derajat rectal, kadang-kadang dengan rectal toucher tidak teraba menonjol tetapi telah ada gejala, hal ini dapat terjadi bila bagian yang membesar adalah lobus medialis dan lobus lateralis. Pada derajat ini klien mengeluh jika BAK tidak sampai tuntas dan puas, pancaran urine lemah, harus mengedan saat BAK, nocturia tetapi belum ada sisa urine.
b. Derajat Klinik
Derajat klinik berdasarkan kepada residual urine yang terjadi. Klien disuruh BAK sampai selesai dan puas, kemudian dilakukan katerisasi. Urine yang keluar dari kateter disebut sisa urine atau residual urine. Residual urine dibagi beberapa derajat yaitu sebagai berikut :
1). Normal sisa urine adalah nol
2). Derajat I sisa urine 0-50 ml
3). Derajat II sisa urine 50-100 ml
4). Derajat III sisa urine 100-150 ml
5). Derajat IV telah terjadi retensi total atau klien tidak dapat BAK sama sekali.
Bila kandung kemih telah penuh dan klien merasa kesakitan, maka urine akan keluar secara menetes dan periodik, hal ini disebut Over Flow Incontinencia. Pada derajat ini telah terdapat sisa urine sehingga dapat terjadi infeksi atau cystitis, nocturia semakin bertambah dan kadang-kadang terjadi hematuria.
c. Derajat Intra Vesikal
Derajat ini dapat ditentukan dengan mempergunakan foto rontgen atau cystogram, panendoscopy. Bila lobus medialis melewati muara uretra, berarti telah sampai pada stadium tida derajat intra vesikal. Gejala yang timbul pada stadium ini adalah sisa urine sudah mencapai 50-150 ml, kemungkinan terjadi infeksi semakin hebat ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, menggigil dan nyeri di daerah pinggang serta kemungkinan telah terjadi pyelitis dan trabekulasi bertambah.

d. Derajat Intra Uretral
Derajat ini dapat ditentukan dengan menggunakan panendoscopy untuk melihat sampai seberapa jauh lobus lateralis menonjol keluar lumen uretra. Pada stadium ini telah terjadi retensio urine total.

6. Penatalaksaan Medis Secara Umum
a. Pemeriksaan Diagnostik
1). Pemeriksaan Laboratorium
Analisis urine dilakukan untuk mengetahui adanya silinder, kristal-kristal, sel darah pada hipertropi prostat yang disertai infeksi maka pada urine ditemukan adanya leukosit dan adanya bakteri. Untuk mengetahui fungsi ginjal dilakukan pemerisaan BUN dan kreatin. Selain itu untuk mengetahui fungsi ginjal dapat dilakukan dengan pemeriksaan Phenol Sulfo Phtalein (PSP) test. Setelah penyuntikan PSP lebih dari 30 menit, jika PSP yang dikeluarkan melalui urine ± 50 % berarti normal tetapi jika PSP yang keluar hanya 25 % kemungkinan terdapat sisa urine dalam kandung kemih atau fungsi ginjal menurun (Rumahorbo, 2000 : 73).
2). Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan Blass Nier Overzicht (BNO) untuk melihat ada tidak komplikasi dari BPH yang berupa batu dalam kandung kemih. Pada pemeriksaan IVP ditemukan lekukan pada dasar kandung kemih yang disebabkan karena desakan kelenjar prostat yang membesar (Rumahorbo, 2000 : 73)..
3). Pemeriksaan Cystoscopy/Panendoscopy
Cystoscopy adalah pemeriksaan langsung pada kandung kemih dengan menggunakan alat yang disebut cystoskop. Dengan pemeriksaan ini kita dapat melihat derajat pembesaran dari kelenjar prostat dan perubahan sekunder pada dinding kandung kemih, misalnya trabekulasi, divertikulasi, infeksi, batu atau tumor (Rumahorbo, 2000 : 73).

b. Farmakoterapi (Tindakan Non Operatif)
Tindakan non operatif dilakukan bila pembesaran prostat masih ringan atau stadium dini, dimana residual urine belum ditemukan atau tidak ada. Bila ditemukan adanya peradangan prostat diberikan antimikrobial dan sizt bath, untuk klien dengan resiko tinggi seperti infark jantung, decompensatio cordis berat tindakan yang dilakukan yaitu kateterisasi dower dan memperbaiki keadaan umum.
Kateterisasi juga dilakukan pada kien yang mengalami retensi urine akut dan pada klien yang tidak bisa mengosongkan kandung kemih secara spontan, kateter ini dipasang terus menerus dan diganti setiap 4 hari (Rumahorbo, 2000 : 74).
c. Tindakan Operatif (Pembedahan)
Pembedahan dilakukan jika terdapat residual lebih dari 50 ml adanya trabekulasi yang jelas. Pembedahan yang dilakukan untuk mengangkat prostat disebut prostatektomi. Prostatektomi dibagi kedalam 4 jenis yaitu sebagai berikut :
1). Trans Urethral Resection (TUR)
Trans Urethral Resection (TUR) dilakukan pada BPH yang kecil dengan berat 35-50 gram dan pembesaran terjadi pada lobus tengah yang langsung melingkari uretra. TUR juga dilakukan pada klien yang tidak bisa dilakukan Open Prostatctomy karena keadaan umum yang buruk. Operasi ini dengan menggunakan alat resectoskop yang dimasukan ke dalam kandung kemih melalui uretra dengan mereseksi lobus median dan satu lobus lateral sehingga klien dapat BAK dengan baik (Rumahorbo, 2000 : 74).
Menurut Brunner & Suddart (2001 :1627) keuntungan dan kerugian TUR yaitu :
Keuntungan :
a). Nyeri paska bedah lebih kecil bila dibandingkan dengan open prostatctomy.
b). Tidak ada luka insisi.
c). Lebih aman bagi pasien yang berisiko terhadap bedah.
d). Hospitalisasi dan periode pemulihan lebih singkat.
e). Angka morbiditas lebih rendah.
Kerugian :
a). Diperlukan uretra yang besar.
b). Membutuhkan waktu lama untuk mereseksi prostat yang besar.
c). Membutuhkan dokter bedah yang ahli.
d). Dapat terjadi komplikasi seperti incontinencia urine dan epididimitis.
e). Dapat terjadi obstruksi kambuhan, trauma uretral dan striktur uretra.
f). Pendarahan yang lama.
2). Suprapubic Transversal Prostatctomy (Prostatektomi Suprapubis)
Suprapubic Transversal Prostatctomy adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas (Brunner & Suddart, 2001 : 1626). Operasi ini dilakukan bila berat prostat 40 gram atau lebih, adanya trabekulasi yang sangat besar dan prostat yang sangat besar intra vesikal (Rumahorbo, 2000 : 74).
Menurut Brunner & Suddart (2001 :1627) keuntungan dan kerugian prostatektomi suprapubik yaitu :
Keuntungan :
a). Mudah dikerjakan dan cukup aman.
b). Apabila terdapat batu, divertikel dan tumor bisa dioperasi sekaligus.
c). Area aksplorasi lebih luas.
d). Memudahkan pengobatan lesi kandung kemih yang berkaitan.
Kerugian :
a). Memerlukan pembedahan melalui kandung kemih.
b). Sulit mengontrol hemoragi.
c). Urine dapat bocor disekitar tuba suprapubis.
d). Pemulihan mungkin lama dan menimbulkan ketidaknyamanan.
3). Retropubic Ekstravesikal Prostatctomy (Prostatektomi Retropubik)
Tindakan operasi ini dilakukan dengan membuat insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tetapi tidak memasuki kandung kemih.
Keuntungan dari prostatektomi retropubik :
a). Kandung kemih tidak mengalami sayatan.
b). Periode pemulihan lebih singkat.
c). Kerusakan spingter kandung kemih lebih kecil.
Kerugian prostatektomi retropubik :
a). Kesulitan/tidak dapat mengobati penyakit kandung kemih yang berkaitan.
b). Peningkatan henoragi akibat pleksus vanosa prostat, osteitis pubis.
(Brunner & Suddat, 2001 : 1627).
4). Perineal Prostatektomy
Mengangkat kelenjar prostat melalui insisi perineum, fossa ischiarectalis langsung ke prostat (Rumahorbo, 2000 : 75).
Keuntungan :
a). Efektif untuk terapi kanker radikal.
b). Angka mortalitas rendah.
c). Baik bagi pasien dengan prostat yang besar, risiko bedah buruk dan pasien yang sangat tua.
d). Terjadinya syok lebih rendah.
Kerugian :
a). Dapat terjadi impotensi dan inkontinensia urine.
b). Potensial terhadap infeksi lebih besar.
c). Komplikasi yang sering terjadi kerusakan nervus pudental sehingga menimbulkan recto uretral fistula.
d). Dapat mengakibatkan kerusakan pada sektum dan sfingter eksternal.
(Brunner & Suddart, 2001 : 1627).
Komplikasi dari prostatektomi tergantung dari jenis pembedahan. Komplikasi yang terjadi diantaranya hemoragi, pembentukan bekuan, obstruksi kateter dan disfungsi sexual. Sebagian besar prostatektomi tidak menyebabkan impotensi meskipun prostatektomi perineal dapat menyebabkan impotensi akibat kerusakan saraf pudendal yang tidak dapat dihindari.
Aktivitas sexual dapat dilakukan kembali dalam 6 sampai 8 minggu, karena saat ini fossa prostatik telah sembuh. Setelah ejakulasi maka cairan seminal mengalir ke dalam kandung kemih dan diekskresikan bersama urin. Vasektomi mungkin dilakukan selama pembedahan untuk mencegah penyebaran infeksi dari uretra prostatik melalui vas deferens dan ke dalam epididimis (Brunner & Suddat, 2001 : 1629).

B. Konsep Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Benigna Prostat Hipertropi (BPH)
Proses keperawatan adalah suatu modalitas pemecahan masalah yang didasari oleh metode ilmiah, yang memerlukan pemeriksaan secara sistematis serta identifikasi masalah dengan pengembangan strategi untuk memberikan hasil yang diinginkan dan merupakan suatu alat bagi perawat untuk memecahkan masalah yang terjadi pada pasien (Alimul Hidayat, 2003 : 8).
Proses keperawatan terdiri dari 5 tahap yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi (Alimul Hidayat, 2003 : 8).
1). Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan, tahap ini merupakan dasar utama dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan manusia (Nursalam, 2001 : 17).
a. Pengumpulan Data
1) Identitas
Dikaji tentang identitas klien yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, pendidikan terakhir, status perkawinan, alamat, diagnosa medis, nomor medrek, tanggal masuk rumah sakit dan tanggal pengkajian, juga identitas penganggungjawab klien yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan terakhir, dan hubungan dengan klien.
2) Riwayat kesehatan klien
a). Alasan masuk
Merupakan alasan yang mendasari klien dibawa ke rumah sakit atau kronologis yang menggambarkan perilaku klien dalam mencari pertolongan.
b). Keluhan utama
Merupakan keluhan yang dirasakan oleh klien saat dilakukan pengkajian, dimana pada klien dengan BPH keluhan yang dirasakan sebelum operasi diantaranya nyeri pada saat BAK, urine keluar dengan menetes, pancaran urine lemah dan sulit saat memulai BAK. Sedangkan keluhan yang mungkin dirasakan setelah operasi diantaranya nyeri pada luka operasi (Brunner & Suddart, 2001 : 1629).
c). Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan dari keluhan utama yang dirasakan klien melalui metode PQRST dalam bentuk narasi.
P (Paliatif dan Profokatif) : Segala sesuatu yang memperberat atau memperingan keluhan.
Q (Quality/Quantity) : Bagaimana keluhan dirasakan oleh klien.
R (Regio/Radiasi) : keluhan tersebut tempatnya dimana dan apakah terjadi penyebaran.
S (Severity/Scale) : Apakah keluhan tersebut mengganggu aktivitas klien, seberapa besar gangguannya.
T (Timing) : Kapan keluhan tersebut dirasakan klien, apakah kadang-kadang atau terus menerus.
d). Riwayat kesehatan masa lalu
Dikaji tentang penyakit yang pernah diderita klien seperti penyakit jantung, ginjal, dan hipertensi, juga riwayat pembedahan yang pernah dialami saat dulu, baik yang berhubungan dengan timbulnya BPH, maupun yang tidak (Brunner & Suddart, 2001 : 1629).
e). Riwayat kesehatan keluarga
Dikaji apakah aggota dalam keluarga klien ada yang menderita penyakit seperti klien, penyakit menular seperti TBC, dan penyakit keturunan seperti DM, Hipertensi, Jantung, dan Asma. Jika ada riwayat penyakit keturunan maka dibuat genogram (AKPER Kota Sukabumi, 2005 : 52).
3) Data biologis dan fisiologis
a). Pola aktivitas harian
Dalam aktivitas sehari-hari dikaji pola aktivitas sebelum sakit dan setelah sakit.
(1) Pola makan dan minum
(a) Makan
Dikaji tentang frekuensi makan, jenis diit, porsi makan, riwayat alergi terhadap suatu jenis makanan tertentu, pada klien BPH biasanya terjadi penurunan napsu makan akibat mual (Brunner & Suddart, 2001 : 1625).
(b) Minum
Dikaji tentang jumlah dan jenis minuman setiap hari. Minuman yang harus dihindari pada klien BPH yaitu minuman yang mengandung kafein dan alkohol, karena dapat meningkatkan diuresis sehingga kemungkinan sisa urine dapat bertambah banyak dalam kandung kemih (retensi urine).
(2) Pola eliminasi
(a). Buang air besar (BAB)
Frekuensi BAB, warna, bau, konsistensi feses dan keluhan klien yang berkaitan dengan BAB. Pada klien BPH biasanya terjadi konstipasi akibat protrusi prostat kedalam rektum (Doenges, 2000 : 671).
(b). Buang air kecil (BAK)
Pada klien BPH terjadi peningkatan BAK, nokturia, hematuria, nyeri saat BAK, urine keluar dengan menetes, sulit saat BAK dan terjadi retensi urine (Brunner & Suddart, 2001 : 1625).
(3) Pola istirahat tidur
Waktu tidur, lamanya tidur setiap hari, apakah ada kesulitan dalam tidur. Pada klien BPH terjadi nokturia dan hal ini mungkin akan mengganggu istirahat tidur klien (Brunner & Suddart, 2001 : 1625).
(4) Pola personal higiene
Dikaji mengenai frekuensi dan kebiasaan mandi, keramas, gosok gigi dan menggunting kuku. Pada klien BPH yang sudah mengalami komplikasi dan juga faktor usia yang sudah tua kemungkinan dalam perawatan dirinya tersebut memerlukan bantuan baik sebagian maupun total.
(5) Pola mobilisasi fisik
Dikaji tentang kegitan dalam pekerjaan, mobilisasi, olah raga, kegiatan diwaktu luang dan apakah keluhan yang dirasakan klien mengganggu aktivitas klien tersebut.
b). Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dalam keperawatan dipergunakan untuk memperoleh data objektif dari riwayat keperawatan klien, dalam pemeriksaan fisik terdapat 4 teknik yaitu Inspeksi, Palpasi, Perkusi dan Auskultasi.
(1) Sistem Persarafan
Pada klien BPH baik pre dan post operasi terdapat rangsangan nyeri akibat dari obstruksi, retensi urine dan luka insisi. Tingkat kesadaran pada klien BPH compos mentis (Brunner & Suddart, 2001 : 1629).
(2) Sistem Endokrin
Pada klien BPH terjadi penurunan jumlah hormon testosteron (Samsuhidajat, 2004 : 782).
(3) Sistem Perkemihan
Pre operasi pada klien BPH ditemukan peningkatan frekuensi BAK, nokturia, hematuria, nyeri pada saat BAK, urin keluar dengan menetes, retensi urine dan terdapat nyeri tekan pada area CVA serta terjadi pembesaran ginjal jika sudah terdapat kerusakan ginjal (Brunner & Suddart, 2001 : 1625).
Biasanya klien post operasi 1-5 hari dipasang kateter dan irigasi kandung kemih kontinyu (spooling) (Brunner & Suddart, 2001 : 1630).
(4) Sistem Pencernaan
Pada klien BPH dengan pre operasi terjadi mual dan muntah akibat dari penekanan lambung (Brunner & Suddart, 2001 : 1625), konstipasi dan kebiasaan mengedan saat BAK akan menyebabkan hernia dan hemoroid (Samsuhidajat, 2004 : 783). Sedangkan pada post operasi dapat terjadi mual karena efek anestesi sehingga timbul anoreksia.
(5) Sistem Kardiovaskuler
Pada klien BPH dengan pre operasi, kaji tentang riwayat penyakit jantung dan hipertensi. Jika sudah ada kerusakan ginjal maka akan terjadi peningkatan tekanan darah tetapi peningkatan tekanan darah dan nadi juga dapat terjadi bila klien merasa nyeri. Sedangkan pada post operasi dapat terjadi penurunan tekanan darah, peningkatan frekuensi nadi, anemis, dan pucat jika klien mengalami syok (Brunner & Suddart, 2001 : 1623).
(6) Sistem Pernapasan
Pada klien BPH dengan pre operasi dan post operasi dapat terjadi peningkatan frekuensi napas akibat nyeri yang dirasakan klien.
(7) Sistem Muskuloskeletal
Pada klien BPH dengan pre operasi dan post operasi terjadi keterbatasan pergerakan dan immobilisasi akibat nyeri yang dirasakan oleh klien.
(8) Sistem Integumen
Pada klien BPH dengan pre operasi dapat terjadi peningkatan suhu tubuh akibat terjadi proses infeksi, sedangkan pada post operasi terdapat luka insisi jika dilakukan prostatektomi terbuka (Brunner & Suddart, 2001 : 1629).


(9) Sistem Reproduksi
Pada klien BPH dengan post operasi dapat terjadi disfungsi seksual bahkan sampai terjadi impotensi. Pada saat ejakulasi cairan sperma dapat bercampur dengan urine sehingga dapat terjadi infeksi tetapi hal ini tidak mengganggu fungsi seksual (Brunner & Suddart, 2001 : 1629).
Teknik palpasi prostat dilakukan dengan Digital Rectal Examination (DRE). DRE merupakan bagian dari pemeriksaan kesehatan reguler bagi pria diatas usia 40 tahun. Tindakan ini sangat berguna dalam skrining kanker kelenar prostat. DRE dilakukan untuk menentukan ukuran, bentuk dan konsistensi kelenjar prostat. Perhatikan adanya nyeri tekan pada kelenjar prostat saat palpasi dan adanya nodulus beserta konsistensinya (Brunner & Suddart, 2001 : 1620). Perhatikan gambar 2.3 dibawah ini tentang pemeriksaan DRE.
Gambar 2.3








4) Data psikologis
a). Status emosional
Dikaji tentang keadaan emosi klien. Pada klien BPH dengan pre operasi, biasanya terjadi ansietas sehubungan dengan prosedur pembedahan.
b). Konsep diri
(1) Citra tubuh
Sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar maupun tidak sadar.
(2) Identitas diri
Kesadaran tentang diri sendiri yang dapat diperoleh individu dari observasi dan penilaian terhadap dirinya menyadari inidividu bahwa dirinya berbeda dengan orang lain.
(3) Peran
Serangkaian pola sikap perilaku, nilai dan tujuan yang diharapkan oleh masyarakat dihubungkan dengan fungsi individu didalam kelompok sosialnya.
(4) Ideal diri
Persepsi individu tentang bagaimana ia seharusnya bertingkah laku berdasarkan standar pribadi.
(5) Harga diri
Penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisis seberapa banyak kesesuaian tingkah laku dengan dirinya.
c). Mekanisme koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologik. Mekanisme koping terdiri dari :
(1) Regresi berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk menganggulangi ansietas dan upaya untuk menanggulangi ansietas.
(2) Projeksi sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi
(3) Menarik diri

5) Data sosial dan budaya
a). Pola komunikasi dan interaksi
Kejelasan klien dalam kebiasaan berbicara, kemampuan dan keterampilan klien berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain.
b). Support sistem
Dikaji bagaimana dukungan keluarga dan orang terdekat dalam proses penyembuhan penyakit klien.
6) Data spiritual
a). Pola religius
Agama yang dianut klien, kegiatan agama dan kepercayaan yang dilakukan klien selama ini apakah ada gangguan aktivitas beribadah selama sakit.
b). Kepercayaan dan keyakinan
Bagaimana sikap klien terhadap petugas kesehatan dan keyakinan klien terhadap penyakit yang dideritanya.
7) Data penunjang
Data penunjang meliputi farmakoterapi dan prosedur diagnostik medik seperti pemeriksaan darah, urine, radiologi dan cystoscopy.

b. Analisa Data
Analisa data adalah suatu tahap yang mengkaitkan dan menghubungkan data dengan konsep teori dan penutup yang relevan untuk membuat kumpulan dalam menentukan masalah kesehatan dan keperawatan pasien (Effendi, 1998 : 102).
Dari data yang telah di kumpulkan kemudian dikelompokan menjadi dua macam yaitu data objektif yang ditemukan secara nyata (data ini didapatkan melalui observasi atau pemeriksaan langsung) dan data subjektif yang disampaikan secara lisan oleh klien dan keluarganya (data ini didapat dari wawancara perawat kepada klien dan keluarga). Perawat dapat menyimpulkan kebutuhan atau masalah klien dari kelompok data yang dikumpulkan yaitu :
1). Tidak ada masalah tapi ada kebutuhan
a). Klien tidak memerlukan peningkatan kesehatan, klien hanya memerlukan pemeriksaan kesehatan dan memerlukan follow up secara periodik karena tidak ada masalah serta klien telah mempunyai pengetahuan untuk antisipasi masalah.
b). Klien memerlukan peningkatan kesehatan berupa upaya prevensi dan promosi sebagai program antisipasi terhadap masalah.
2). Ada masalah dengan kemungkinan
a). Resiko terjadi masalah karena sudah ada faktor yang dapat menimbulkan masalah.
b). Aktual terjadi masalah disertai data pendukung.
(Keliat, 1999 : 4).

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu atau kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan, menurunkan, membatasi, mencegah dan merubah (Nursalam, 2001 : 35).
Menurut Doenges (2000 : 673-677) dan Rumahorbo (2000 : 75-77), diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan BPH baik pre operasi maupun post operasi diantaranya :
a. Diagnosa keperawatan Pre operasi
1) Gangguan rasa nyaman nyeri sehubungan dengan retensi urine, infeksi urinaria dan distensi kandung kemih.
2) Perubahan eliminasi urine : retensi urine sehubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat dan ketidakmampuan kandung kemih berkontraksi lebih kuat.
3) Resti infeksi sehubungan dengan retensi urine dan terpasangnya dower kateter
4) Ansietas sehubungan dengan prosedur pembedahan
5) Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, tanda dan gejala serta perawatan dirumah sehubungan dengan kurang informasi.
b. Diagnosa keperawatan Post operasi
1) Gangguan rasa nyaman nyeri sehubungan dengan luka operasi
2) Perubahan eliminasi urine : retensi urine, hematuri sehubungan dengan obstruksi mekanik ; bekuan darah, edema dan trauma.
3) Resti infeksi sehubungan dengan luka operasi, kateter dan irigasi kandung kemih.
4) Resti kekurangan volume cairan dan elektrolit sehubungan dengan pendarahan.
5) Resti disfungsi seksual sehubungan dengan inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan kateter.
6) Kurang pengetahuan tentang perawatan post operasi sehubungan dengan kurang informasi.













3. Perencanaan
Perencanaan adalah bagian dari fase pengorganisasian dalam proses perawatan yang meliputi tujuan perawatan, menetapkan pemecahan masalah dan menentukan tujuan perencanaan untuk mengatasi masalah pasien (Alimul Hidayat, 2003 : 30). Berdasarkan diagnosa keperawtan yang telah disebutkan diatas maka dapat ditetapkan tujuan, kriteria, intervensi dan rasional sebagai berikut :
a. Perencanaan Pre operasi pada Klien BPH
1) Gangguan rasa nyaman nyeri sehubungan dengan retensi urin, infeksi urinaria dan distensi kandung kemih.
Tujuan : Rasa nyaman terpenuhi
Kriteria : Nyeri berkurang atau hilang, tidak ada retensi urine, ekspresi wajah rileks.
Intervensi Rasional
1. Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas, durasi, faktor pencetus serta cara mengurangi nyeri.
2. Anjurkan klien untuk tirah baring, lakukan aktivitas yang dapat ditolerir klien.



3. Observasi tanda-tanda vital setiap 4 jam sekali.

4. Lakukan teknik relaksasi dan distraksi seperti :
• Bantu klien mencari posisi yang nyaman
• Berikan rendam duduk dengan air hangat
• Ajarkan teknik relaksasi napas dalam
• Berikan aktivitas yang menyenangkan untuk mengalihkan rasa nyeri
5. Kolaborasi :
• Lakukan kateterisasi


• Berikan anakgetik dan antibiotik sesuai indikasi 1. Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan atau keefektifan intervensi
2. Tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase akut. Ambulasi dini dapat memperbaiki pola berkemih normal dan menghilangkan nyeri kolik.
3. Peningkatan TTV mengidentifikasi adanya nyeri berlebih
4. Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dandapat meningkatkan kemampuan koping






• Pengaliran kandung kemih menurunkan tegangan dan kepekaan kelenjar
• Analgetik dapat menghilangkan nyeri sedangkan antibiotik untuk membunuh bakteri dalam traktus urinarius.
2) Perubahan eliminasi urine : retensi urine sehubungan dengan obstruksi makanik, pembesaran prostat dan ketidakmampuan kandung kemih berkontraksi lebih kuat.
Tujuan : Klien dapat BAK dengan tuntas, dan urine keluar secara komplit
Kriteria : Tidak teraba distensi kandung kemih, residu urine pasca BAK kurang dari 50 ml.
Intervensi Rasional
1. Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba ada keinginan BAK
2. Bantu klien dalam menggunakan cara berkemih yaitu dengan :
• Jaga privacy klien
• Atur posisi yang nyaman untuk BAK
• Berikan rangsangan dengan menyalakan air kran yang dekat dengan klien
• Berikan kompres hangat pada daerah supra pubis
3. Anjurkan klien minum sampai 3000 ml sehari dalam toleransi jantung dan bila di indikasikan

4. Awasi dan tata waktu serta jumlah tiap berkemih, perhatikan penurunan haluaran urine

5. Anjurkan klien untuk menghindari minuman yang mengandung alkohol dan kafein
6. Lakukan kateterisasi setelah klien BAK
7. Awasi TTV setiap 4 jam sekali. Observasi peningkatan TD, edema perifer, perubahan mental. Pertahankan intak dan output.
1. Meminimalkan retensi urine dan distensi berlebihan pada kandung kemih
2. Cara-cara tersebut akan membantu klien dalam mengosongkan kandung kemih







3. Peningkatan cairan mempertahankan perfusi ginjal dan membersihkan ginjal serta kandung kemih dari pertumbuhan bakteri
4. Retensi urine meningkatkan tekanan dan saluran perkemihan atas, yang dapat memperngaruhi fungsi ginjal

5. Kafein dan alkohol dapat meningkatkan urinasi

6. Untuk mengukur residual urin
7. Kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eliminasi cairan dan akumulasi sisa toksis dapat berlanjut ke penurunan ginjal total





3) Resti infeksi sehubungan dengan retensi urine dan terpasangnya dower kateter.
Tujuan : Infeksi tidak terjadi
Kriteria : Tidak ada tanda-tanda infeksi baik lokal maupun sistemik.
Intervensi Rasional
1. Observasi tanda-tanda infeksi seperti peningkatan suhu tubuh, menggigil

2. Catat karakteristik urien, warna dan bau


3. Bila dipasang kateter, pertahankan gravitasi aliran urine dan kebersihan meatus uretra
4. Anjurkan klien untuk meobilisasi selam atidak ada kontra indikasi
5. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai program 1. Mengetahui secara dini tanda dan gejala infeksi sehingga memudahkan intervensi
2. Jika urine berkabut dan bau nya busuk, menandakan sudah terjadi infeksi
3. Menghindari refluk balik urine sehingga bakteri dapat mesuk ke dalam kandung kemih
4. Mobilisasi dapat memperbaiki pola berkemih normal
5. Antibiotik merupakan obat untuk membunuh bakteri

4) Ansietas sehubungan dengan prosedur pembedahan
Tujuan : Klien tidak cemas ketika akan dilakukan pembedahan
Kriteria : Klien tampak rileks, menunjukkan perasaan dan penurunan rasa takut, melaporkan ansietas menurun.
Intervensi Rasional
1. Buat hubungan saling percaya dengan pasien dan keluarga
2. Berikan informasi tentang prosedur pembedahan dan tindakan yang akan dilakukan



3. Dorong pasien untuk menyatakan masalah atau perasaannya


4. Beri penguatan informasi kepada pasien yang telah diberikan sebelumnya 1. Menunjukkan perhatian dan keinginan untuk membantu
2. Membantu pasien memahami tujuan dari apa yang akan dilakukan dan mengurangi masalah karena ketidaktahuan, namun kelebihan informasi tidak membantu dan dapat meningkatkan ansietas
3. Mendefinisikan masalah, memberikan kesempatan untuk menjawab pertanyaan dan mencari solusi pemecahan masalah
4. Memungkinkan pasien untuk menerima kenyataan dan menguatkan kepercayaan pada pmberi perawatan serta pemberian infoemasi.

5) Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, tanda dan gejala serta perawatan dirumah sehubungan dengan kurang informasi.
Tujuan : Klien dan keluarga mengerti tentang proses penyakit, tanda dan gejala serta perawatan dirumah
Kriteria : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit, tanda dan gejala serta perawatan dirumah.
Intervensi Rasional
1. Berikan informasi bahwa kondisi tidak ditularkan secara seksual
2. Anjurkan klien untuk menghindari makanan berbumbu, kopi, dan alkohol.






3. Anjurkan klien untuk tidak membiarkan kandung kemihnya penuh atau menahan BAK
4. Anjurkan klien untuk tetap aktif dan mobilisasi sesuai dengan kemampuan
5. Anjurkan klien untuk selalu memeriksakan kondisinya setiap 6 bulan sampai 1 tahun termasuk pemeriksaan rektal dan urinalisa



6. Ajarkan cara pemberian obat meliputi nama, dosis, jadual, tujuan dan efek samping obat 1. Mungkin merupakan ketakutan yang tak dibicarakan
2. Karena makanan tersebut dapat menyebabkan iritasi prostat dengan masalah kongsti, peningkatan tiba-tiba pada aliran urine dapat menyebabkan distensi kandung kemih dan kehilangan tonus kandung kemih, mengakibatkan episode retensi urinaria akut.
3. Agar tidak terjadi retensi urine sehingga dapat mengakibatkan infeksi
4. Mencegah terjadinya kontraktur dan dapat memperbaiki pola berkemih normal
5. Hipertorpi berulang atau infeksi yang disebabkan oleh organisme yang sama atau berbeda tidak umum dan akan memerlukan perubahan terapi untuk mencegah komplikasi serius
6. Pengobatan yang benar dan teratur dan mempercepat proses penyembuhan klien.

b. Perencanaan Post Operasi pada Klien BPH
1) Gangguan rasa nyaman nyeri sehubungan dengan luka operasi
Tujuan : Rasa nyaman terpenuhi
Kriteria : Ekpresi wajah klien rileks, klien mengatakan rasa nyeri berkurang, luka operasi kering.
Intervensi Rasional
1. Kaji nyeri yang meliputi lokasi, intensitas, lamanya nyeri, faktor pencetus dan cara mengatasi nyeri yang dilakukan oleh klien
2. Lakukan irigasi uretral sampai urine jernih, 24 jam pertama terus menerus selanjutnya sesuai dengan kebutuhan
3. Berikan pasien informasi akurat tentang kateter, drainase dan spasme kandung kemih
4. Berikan klien tindakan kenyamanan seperti bantu klien merubah posisi sesuai dengan keinginannya, ciptakan lingkungan yang nyaman, ajarkan teknik relaksasi, dan berikan aktivitas yang menyenangkan bagi klien.
5. Observasi tanda-tanda vital setiap 4 jam sekali
6. Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml tiap hari sesuai toleransi

7. Kolaborasi pemberian analgetik 1. Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan atau keefektifan intervensi

2. Untuk menghindari bekuan darah sehingga mencegah terjadinya infeksi
3. Menghilangkan ansietas dan meningkatkan kerjasama dengan prosedur tertentu
4. Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dandapat meningkatkan kemampuan koping


5. Peningkatan TTV mengidentifikasi adanya nyeri berlebih
6. Menurunkan iritasi dengan mempertahankan aliran cairan konstan ke mukosa kandung kemih
7. Untuk menurunkan rasa nyeri yang dirasakan klien

2) Perubahan eliminasi urine : retensi urine, hematuri sehubungan dengan obstruksi mekanik ; bekuan darah, edema dan trauma.
Tujuan : Klien dapat BAK dengan tuntas, dan urine keluar secara komplit tanpa adanya retensi.
Kriteria : Tidak ada tanda dan gejala retensi urine, tidak ada hematuria, urine keluar dengan lancar melalui kateter.
Intervensi Rasional
1. Kaji haluaran urine dan sistem kateter (drainase) khususnya selama irigasi kandung kemih
2. Bantu pasien memilih posisi yang normal untuk berkemih contoh berdiri, berjalan kekamar mandi dengan frekuensi sering setelah kateter dilepas
3. Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah kateter dilepas serta keluhan rasa penuh kandung kemih, ketidakmampuan berkemih dan urgensi.
4. Anjurkan pasien untuk berkemih tiap 2 sampai 3 jam dan bila terasa ada dorongan untuk BAK



5. Instruksikan pasien untuk latihan perineal, contoh mengencangkan bokong, menghentikan dan memulai BAK 1. Retensi dapat terjadi karena edema area bedah, bekuan darah dan spasme kandung kemih
2. Mendorong pasese urine dan meningkatkan rasa normalitas


3. Kateter biasanya dilepas 2 sampai 5 hari setelah bedah, tetapi berkemih dapat berlanjut menjadi masalah untuk beberapa waktu karena edema uretral dan kehilangan tonus
4. Berkemih dengan dorongan mencegah retensi urine, keterbatasan berkemih untuk tiap 4 jam dapat meningkatkan tonus kandung kemih dan membantu latihan ulang kandung kemih
5. Membantu meningkatkan kontrol kandung kemih, spingter, urine dan meminimalkan inkontinensia

3) Resti infeksi sehubungan dengan luka operasi, kateter dan irigasi kandung kemih.
Tujuan : Tidak terjadi infeksi
Kriteria : Tidak ada tanda-tanda infeksi baik lokal maupun sistemik, luka operasi kering.
Intervensi Rasional
1. lakukan perawatan luka dan perawatan kateter dengan teknik aseptik setiap hari.


2. observasi tanda vital, perhatikan adanya demam, menggigil, nadi dan pernapasan cepat, gelisah serta disorientasi
3. catat karakteristik urine, catat bila warna urine keruh atau berbau busuk
4. observasi drainase dari luka dan catat cairan drainase, warna serta jumlahnya


5. kolaborasi pemberian antibiotik sesuai dengan indikasi 1. Balutan basah menyebabkan kulit iritasi dan memberikan media untuk pertumbuhan bakteri dan dapat terjadi peningkatan resiko infeksi luka
2. Pasien yang mengalami pembedahan prostat berisiko untuk syok septik sehubungan dengan instrumentasi
3. Deteksi dini terjadinya infeksi

4. Adanya drainase dapat meningkatkan resiko untuk infeksi yang diindikasikan adanya eritema dan cairan drainase purulen
5. Mencegah peningkatan risiko infeksi akibat dari mikroorganisme

4) Resti kekurangan volume cairan dan elektrolit sehubungan dengan pendarahan.
Tujuan : Tidak terjadi kekurangan volume cairan dan elektrolit
Kriteria : Mempertahankan hidrasi adequat yang dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer teraba, membran mukosa lembab, pengisian kapiler baik, tidak ada perdarahan aktif dan haluaran urine tepat.
Intervensi Rasional
1. Catat intake dan output





2. Observasi drainase kateter, perhatikan adanya perdarahan berlebihan





3. Catat warna dan konsistensi urine seperti :
• Merah terang dengan bekuan darah

• Peningkatan viskositas warna keruh gelap dengan bekuan gelap
• Perdarahan dengan tidak ada bekuan

4. Observasi tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan, penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat, pengisian kapiler lambat dan membran mukosa kering
5. Observasi adanya penurunan kesadaran atau adanya gelisah dan perubahan perilaku


6. Kolaborasi awasi pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi sepeti hb/ht jumlah sel darah merah. 1. Indikator keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantia. Pada irigasi kandung kemih, awasi pentingnya perkiraan kehilangan darah dan secara akurat mengkaji haluaran urine
2. Perdarahan tidak umum terjadi pada 24 jam pertama, tetapi perlu pendekatan perineal. Perdarahan kontinue atau berat atau berulangnya perdarahan aktif memerlukan intervensi atau evaluasi medik.


• Biasanyan mengindikasikan perdarahan arteri dan memerlukan terapi cepat
• Menunjukkan perdarahan dari vena biasanya berkurang sendiri
• Dapat mengindikasikan diskaria darah atau masalah pembekuan darah sistemik
4. Dehidrasi/hipovolemia memerlukan intervensi cepat untuk mencegah berlanjut ke syok


5. Dapat menunjukkan penurunan perfusi serebral atau indikasi edema serebral karena kelebihan cairan selama prosedur pembedahan
6. Berguna dalam evaluasi kehilangan darah atau kebutuhan pengantian

5) Resti disfungsi seksual sehubungan dengan inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan kateter.
Tujuan : Klien tidak mengalami cemas sehubungan dengan adanya resiko disfungsi seksual.
Kriteria : Menyatakan pemahaman situasi individu menunjukkan keterampilan dalam pemecahan masalah.
Intervensi Rasional
1. Berikan keterbukaan pada pasien dan orang terdekat untuk membicarakan masalah inkontinensia dan fungsi seksual

2. Berikan informasi akurat tentang harapan kembalinya fungsi seksual



3. Diskusikan ejakulasi retrograd bila pendekatan transuretral atau suprapubis digunakan
4. Anjurkan klien latihan perineal dan interupsi atau kontinyu aliran urine. 1. Dapat mengalami ansietas tentang efek bedah, ansietas dapat mempengaruhi kemampuan untuk menerima informasi yang telah diberikan sebelumnya]
2. Impotensi fisiologis terjadi bila saraf perineal dipotong pada prosedur radikal pada pendekatan lain aktivitas seksual dapat dilakukan seperti biasa dalam 6-8 minggu.
3. Cairan seminal mengalir kedalam kandung kemih dan disekresikan melalui urine
4. Meningkatkan kontrol otot kontinensia urinaria dan fungsi seksual

6) Kurang pengetahuan tentang perawatan post operasi sehubungan dengan kurang informasi.
Tujuan : Klien dan keluarga mengerti dan memahami perawatan post operasi.
Kriteria : Dapat melakukan dengan benar prosedur yang perlu dan menjelaskan alasan tindakan, berpartisipasi dalam program tindakan.
Intervensi Rasional
1. Anjurkan klien mengkonsumsi nutrisi yang baik dan meningkatkan diet tinggi serat

2. Disfungsikan pembatasan aktivitas awal, contoh ; menghindari mengangkat beban berat kemudian latihan keras, duduk atau mengendarai mobil terlalu lama, memanjat lebih dari 2 tingkat sekaligus
3. Anjurkan klien untuk tidak minum alkohol
4. Ajarkan klien tentang perawatan luka dengan teknik aseptik

5. Ajarkan klien minum obat sesuai dengan jadual, dosis dan jenis obat
6. Anjurkan klien untuk follow up sesuai instruksi dokter
1. Meningkatkan penyembuhan dan mecegah komplikasi dan menurunkan resiko pendarahan pasca operasi
2. Peningkatan tekanan abdominal dan meregangkan kandung kemih serta prostat menimbulkan pendarahan



3. Alkohol dapat meningkatkan urinasi serta menyebabkan retensi urine
4. Meningkatkankan pengetahuan dalam perawatan luka sehingga mencegah terjadinya infeksi
5. Penggunaan obat yang benar dapat mempercepat penyembuhan
6. Follow up dapat berguna untuk deteksi dan mencegah adanya komplikasi.




4. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan, jenis tindakannya adalah mandiri (indefenden), kolaborasi (interdefenden) dan ketergantungan (defenden) (Effendi, 1998 : 100).
Pada tahap ini dilakukan pelaksanaan dari tindakan keperawatan yang telah ditetapkan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan klien secara optimal. Pelaksanaan tindakan tersebut diantaranya :
a. Melakukan teknik manajemen nyeri
1) Relaksasi napas dalam
Relaksasi merupakan metoda yang efektif terutama pada pasien yang mengalami nyeri kronis. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam relaksasi yaitu posisi yang tepat, konsentrasi penuh dan lingkungan yang tenang. Langkah-langkah dalam relaksasi napas dalam adalah sebagai berikut :
a) Pasien disuruh menarik napas dalam.
b) Buang napas perlahan-lahan sambil melemaskan tubuh.
c) Tarik napas biasa beberapa kali.
d) Tarik napas dalam lagi dan hembuskan pelan-pelan serta membiarkan kaki dan telapak kaki rileks. Anjurkan klien untuk mengkonsentrasikan pikiran pada kakinya.
e) Ulangi cara tersebut sambil mengkonsentrasikan pada seluruh anggota tubuh lainnya.
f) Setelah pasien merasa rileks, anjurkan untuk bernapas secara pelan-pelan. Bila nyeri menjadi hebat, anjurkan pasien bernapas secara dangkal dan cepat.
(Prihardjo, 1998 : 42)


2) Distraksi
Distraksi merupakan metode untuk menghilangkan nyeri dengan cara mengalihkan perhatian pasien pada hal-hal lain sehingga pasien akan lupa terhadap nyeri yang dialaminya. Misalnya menonton televisi, membaca buku dan lain-lain (Prihardjo, 1998 : 42).
3) Rendam duduk air hangat
Rendam duduk air hangat adalah berendam pada air hangat dengan posisi duduk. Hal ini berguna dalam mengurangi rasa nyeri dan meningkatkan kenyamanan.
b. Irigasi kandung kemih kontinyu
Irigasi kandung kemih kontinyu dilakukan untuk mempertahankan patensi kateter uretra. Irigasi ini dipertahankan dengan cara sistem irigasi tertutup, biasanya dilakukan pada klien setelah pembedahan genitourinaria, karena klien ini berisiko mengalami bekuan darah dan fragmen mukus yang dapat menghambat kateter urine (Potter, 2000 : 392).
1) Prinsip steril
2) Bila irigan terlalu dingin dapat terjadi spasme kandung kemih, menyebabkan peningkatan nyeri, bila ada bekuan darah tingkatkan aliran atau kecepatan tetesan, karena bekuan darah dapat menyumbat kateter.
c. Perawatan luka
Perawatan luka yang diberikan pada klien post pembedahan adalah perawatan luka kering. Balutan kering melindungi luka dengan drainase terhadap kontaminasi mikroorganisme (Potter, 2000 : 461).
1) Teknik atau prinsip perawatan luka steril
2) Langkah-langkah perawatan luka :
a). Buka balutan
b). Bersihkan luka dengan larutan antiseptik
c). Keringkan luka
d). Tutup luka dengan kasa steril
5. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah dicapai (Nursalam, 2001 : 71).
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan secara terus menerus pada respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksakan. Evaluasi dapat dibagi dua yaitu :
a. Evaluasi proses atau formatif dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan.
b. Evaluasi hasil atau sumatif dilakukan dengan membandingkan respon klien pada tujuan khusus dan umum yang telah ditentukan.
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP, sebagai pola pikir :
S : Respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
O : Respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
A : Analisa ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau ada data yang kontradiksi dengan masalah yang ada.
P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon klien.



Rencana tindak lanjut dapat berupa :
a. Rencana teruskan jika masalah tidak berubah.
b. Rencana dimodifikasi jika masalah tetap, semua tindakan sudah dijalankan tetapi hasil belum memuaskan.
c. Rencana dibatalkan jika muncul masalah baru dan bertolak belakang dengan masalah yang ada didiagnosa lama dibatalkan.
(Keliat, 1998 : 15)
Hasil yang diharapkan pada klien dengan BPH baik pre operasi dan post operasi antara lain :
1. Pre Operasi
a. Menyebutkan bahwa nyeri dan rasa tidak nyaman menurun.
b. Klien dapat berkemih secara normal.
c. Tidak ada tanda-tanda infeksi.
d. Menunjukkan penurunan ansietas.
e. Menunjukkan pemahaman tentang proses penyakit, tanda dan gejala serta prosedur pembedahan.
2. Post Operasi
a. Menunjukkan rasa nyaman.
b. Berespon secara positif terhadap tindakan perawatan diri
1) Menghasilkan haluaran urine dalam batasan normal dan sesuai dengan masukan.
2) Meningkatkan aktivitas dan ambulasi sehari-hari.
3) Melakukan latihan perineal dan menghentikan aliran urine untuk meningkatkan kontrol kandung kemih.
c. Bebas dari komplikasi.
1) Menunjukkan penyembuhan luka tanpa ada tanda-tanda inflamasi atau hemoragik.
2) Mempertahankan drainase katater dan selang drainase lainnya dengan optimal.
3) Tidak tejadi disfungsi seksual.
d. Menunjukkan pemahaman tentang perawatan post operasi.

1 komentar:

  1. terimakasih informasinya, lengkap dan membantu sekali

    http://acemaxsshop.com/obat-tradisional-kanker-prostat/

    BalasHapus