Sabtu, 20 Maret 2010

KELAINAN NEUROLOGIK PADA KEHAMILAN

KELAINAN NEUROLOGIK PADA KEHAMILAN

Kelainan neurologik yang sering dijumpai pada wanita usia reproduktif, dapat pula dijumpai pada wanita hamil.1,2,3 Gejala yang ditemukan sangat kompleks, dapat melibatkan kelainan fungsi luhur maupun kelainan fungsi neuromuskuler, oleh karena itu harus dapat dibedakan dari penyakit psikiatrik.
Diagnosis dan penanganan penyakit neurologik selama kehamilan seringkali sangat sulit karena keluhan yang dialami dapat saling tumpang-tindih dengan keluhan yang umum ditemukan pada kehamilan, di samping itu juga karena adanya konsekuensi yang berbahaya dari penyakit ini, serta efek pengobatan terhadap ibu terhadap janin.2 Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama akan memberikan dasar untuk menegakkan diagnosis yang akurat untuk penanganan lebih lanjut.
Prosedur pencitraan (imaging) harus dipertimbangkan bila diduga ada lesi pada sistem saraf pusat. Keterpaparan sinar X terhadap janin bila kurang dari 1 rad masih dianggap aman. CT otak yang memakai sinar X dan arteriografi bukan merupakan suatu kontraindikasi mutlak untuk mengevaluasi penyakit ibu. Perut dapat dilindungi dari keterpaparan sinar X selama prosedur neuroradiologik. Bahan kontras intravena dapat digunakan tanpa efek nyeri. MRI yang tanpa melibatkan radiasi ionisasi sangat bermanfaat untuk membantu pemeriksaan selama kehamilan, sebab diketahui tidak berisiko terhadap janin. Penggunaan myelografi yang melibatkan radiasi dosis tinggi sebagian telah digantikan oleh CT dan MRI, risiko terbesar dari myelografi terutama pada awal kehamilan. 3
Penanganan yang optimal dan efektif membutuhkan kerja sama beberapa disiplin ilmu antara lain ahli obstetri atau spesialis fetomaternal dan ahli neurologi. Keterlibatan ahli anestesia dibutuhkan pada saat persalinan untuk memberikan analgesia atau anestesia yang tepat. Keterlibatan spesialis anak atau spesialis perinatologi dibutuhkan lebih awal untuk mengantisipasi kebutuhan neonatal dan perawatan bayi baru lahir yang adekuat.2
A.
A. NYERI KEPALA (HEADAACHE)
Nyeri kepala cukup sering ditemukan pada kehamilan, umumnya jinak tapi kadang-kadang serius bilamana nyeri kepala tersebut baru timbul sewaktu hamil, untuk itu perlu dipertimbangkan keadaan serius yang mengakibatkan nyeri kepala tersebut antara lain preeklampsia, eklampsia, hipertensi tak terkontrol, pheochromocytoma, perdarahan subarakhnoid, pseudotumor serebri, tumor serebri, thrombosis vena serebral, infeksi otak antara lain ensefaliti dan meningitis.4
Nyeri kepala yang paling sering ditemukan pada kehamilan adalah nyeri kepala tipe tegang / NKTT (Tension type headache) yaitu nyeri kepala kronik yang dirasakan seperti diikat, ditindih barang berat atau kadang kadang berwujud rasa tidak enak dikepala, umumnya bilateral, intensitasnya dari ringan sampai sedang. NKTT sering merupakan bagian dari gejala depresi dan stres situasional, selain itu dapat sebagai tanda depresi postpartum. Sebaliknya migren merupakan nyeri kepala unilateral, berdenyut denyut dengan intensitas sedang sampai berat disertai mual, fotofobia atau fonofobia, nyeri kepala diperberat dengan aktifitas fisik, gejala tambahan meliputi nyeri kepala saat menstruasi. Insidens migren 3 – 5 % dari populasi umum namun pada 80 % kasus membaik saat penderita hamil.1,5
Diagnosis NKTT dan migren ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat dan pemeriksaan fisik yang komprehensif. Pemeriksaan CT. Scan kepala sebaiknya dihindari kecuali dicurigai ada kelainan struktural intrakranial.5
Secara umum tujuan penanganan nyeri kepala adalah mengidentifikasi etiologi atau faktor predisposisi, mengurangi / menghilangkan nyeri dengan obat yang kurang toksik terhadap ibu dan janin, dan mengurangi berat dan frekuensi serangan.5 Pada NKTT kadang-kadang teratasi dengan analgetik sederhana yaitu Acetaminophen namun pada NKTT rekuren diperlukan pemeriksaan psikologik dan pemberian profilaksis antidepresan trisiklik semisal Amitriptyline sangat menolong dan tidak menyebabkan cacat bawaan. Penggunaan Aspirin dan Benzodiasepin reguler sebaiknya dihindari.
Kenyataan bahwa sebagian besar obat dapat melewati sawar plasenta dan dapat berpengaruh terhadap janin menyebabkan kesulitan dalam pengobatan migrain selama kehamilan.2 Penderita dengan fungsi harian yang tetap berjalan normal tidak membutuhkan penanganan yang bermakna, pengobatan nonfarmakologik dianjurkan. Sejumlah strategi seperti ice-pack, pemijatan, tidur dan biofeedback dapat meredakan serangan.2,6
Pada migren pemberian preparat ergot dan sumatripan merupakan kontraindikasi selama kehamilan karena dapat meningkatkan kontraksi uterus dan gangguan vaskuler pada janin, Pemberian chlorpromazine 0,1 mg/ kg berat badan secara intravena sangat efektif dalam penanganan migren namun termasuk kelas C dalam obat untuk kehamilan. Acetaminophen atau acetaminophen dengan codein juga dapat digunakan dalam kehamilan, kadang-kadang meperidine, morfin dan hidromorfin juga dapat digunakan jika terjadi serangan hebat. Aspirin dan NSAID sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan konstriksi duktus arteriosus janin dan oligohidramnion khususnya pada tahap akhir kehamilan. Umumnya migren rekuren dapat diobati dengan propanolol atau “Calcium channel blockers”, namun demikian karena propranolol dapat melewati plasenta dan mengakibatkan bradikardi pada janin maka penggunaannya dibatasi pada migren refrakter.5

B. GANGGUAN NEUROMUSKULER

KRAM OTOT
Diperkirakan 25 % ibu hamil mengalami kram otot setiap pagi saat memulai aktivitas selama trimester akhir kehamilan. Kekurangan natrium (garam), kalium dan kondisi metabolik lainnya dapat menyebabkan kram. Tablet magnesium laktat dan magnesium sitrat (122 mg pada pagi hari dan 244 mg pada malam hari) dapat memberi perbaikan pada  80 % penderita. Kalsium carbonat atau glukonat oral, 500 mg diberikan 3 –4 kali sehari juga dapat memeberi perbaikan namun placebo tampaknya efektif pada 40 % penderita.4
RESTLESS LEGS
Keluhan penderita restless legs bukan nyeri melainkan perasaan tidak nyaman yang terus menerus bilamana tungkai diam oleh karena itu penderita menggerak-gerakan atau menggoyang-goyangkan tungkainya terus menerus sehingga tampak penderita seperti gelisah.
Pada ibu hamil diperkirakan kurang lebih 10 – 30 % mengalami Sindroma Restless Legs selama trimester akhir kehamilan. Gangguan ini timbul 30 menit setelah penderita baring. Komsumsi kafein yang berlebihan dan anemia memicu timbulnya sindroma Restless Legs tersebut. Suplemen asam folat peroral (500 mg perhari) menurunkan frekuensi Restless Leg. Berjalan–jalan dan mandi air hangat sebelum istirahat dapat memperpanjang periode laten dan cukup untuk menolong penderita tertidur. Untuk Restless Leg berat selama kehamilan , pemberian Carbodopa / L-Dopa 25mg / 100mg dosis tunggal mungkin efektif menanggulangi sindroma ini selain itu potensi teratogeniknya cukup rendah.4

MIASTENIA GRAVIS
Miastenia gravis adalah suatu penyakit autoimmun yang ditandai oleh kelemahan atau kelumpuhan otot-otot lurik setelah melakukan aktivitas dan akan pulih kekuatannya setelah istirahat beberapa saat yaitu beberapa menit sampai beberapa jam, akibat penurunan jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction. Gambaran klinik MG sangat jelas yaitu dari kelemahan lokal yang ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeleruh yang fatal. Kira-kira 33 % hanya terdapat kelainan okular disertai kelemahan otot lainnya. Kelemahan ekstremitas tanpa disertai kelainan okular jarang dijumpai, yang lainnya kira-kira 20 % ditemukan kesulitan mengunyah dan menelan.
Selama kehamilan mempunyai pengaruh yang bervariasi terhadap MG, 1/3 dapat memburuk, 1/3 menetap atau 1/3 membaik. Dari semua penderita MG yang eksaserbasi, penelitian terakhir melaporkan 41 % terjadi selama kehamilan dan 30 % terjadi pada waktu nifas. MG meningkatkan risiko abortus spontan dan 3 – 10 % menyebabkan kematian ibu. Timbulnya MG pada suatu kehamilan bukan merupakan prediksi bahwa akan timbul pada kehamilan berikutnya. Aborsi tidak menyebabkan remisi, kurang lebih setengahnya memburuk pada saat puerperium. Minimal 12 - 19 % bayi yang lahir dari ibu MG menderita MG neonatal transitory dan harus dimonitoor secara ketat paling kurang selama 4 hari dapat berlangsung 10 sampai dengan 15 minggu, gejala yang timbul antara lain gangguan menelan (87 %), kelemahan (69 %), kesulitan pernapasan (65 %), feeble cry (60 %)dan parese facialis (54 %).
Penanganan MG pada Kehamilan sama dengan MG tanpa kehamilan, kurangnya data yang tersedia tentang keamanan pemberian immunoglobulin intravena selama kehamilan. Perlu diingat bahwa magnesium sulfat merupakan kontra indikasi pada MG dengan kehamilan karena akan meningkatkan kelemahan otot dengan menurunkan pelepasan asetilkolin dan menurunkan kepekaan membran postsinaps. Terapi alternatif pada penderita preeklampsia dan eklampsia dengan MG adalah benzodiazepin atau phenobarbital, phenitoin juga harus hati-hati pada MG
Menyusui diperbolehkan pada ibu dengan MG namun Cyclosporine dan Azathioprine diekskresi melalui air susu dan memberikan risiko immunosupresif dan potensi tumorigenik oleh karena itu sebaiknya dihindari. Kortikosteroid juga disekresi melalui air susu tetapi dalam jumlah yang kecil, Obat anticholinergic dalam dosis besar yang diminum oleh ibu dengan MG dapat menyebabkan gangguan gastrointestinal pada bayi baru lahir yang menyusui

MYOPATI
Miopati merupakan suatu kelainan yang ditandai dengan terdapatnya fungsi abnormal otot (merupakan perubahan patologik primer) tanpa adanya bukti denervasi pada studi klinik, histologik atau elektrik. Abnormalitas tersebut apakah biokimiawi, patologik atau elektrofisiologik terletak pada serabut otot atau jaringan interstisial sekitarnya.

DISTROPI MYOTONIK
Myotonia merupakan kelainan genetik autosomal yang bersifat dominan yang ditandai dengan kelemahan otot dan wasting, keadaan ini disebabkan karena relaksasi yang tertunda dari otot yang terkena akibat abnormalitas membran serabut otot. Fenomena klinik dicirikan berupa kontraksi otot yang berkepanjangan mengikuti kontraksi volunter, pukulan (mekanik) atau elektrik pada otot tersebut, keluhan penderita berupa tangan kaku, tidak mampu mengendorkan genggaman, gangguan bicara, atrofi maseter dan sternokleidomastoideus, ptosis, katarak dan suara melemah.
Myotonia baik yang merupakan distropi myopati maupun myotonia congenita, sering meningkat selama pertengahan trimester dua kehamilan. myotonic dystrophy ada kaitannya dengan penyakit jantung, dengan gejala berupa gangguan sistem konduksi, aritma atau penyakit jantung kongestif, sedangkan myotonic dystrophy kongenital umumnya bersifat hipotonia dan kelemahan yang menyeluruh. Otot-otot pernapasan mungkin terkena sehingga menyebabkan kesulitan bernapas pada neonatus. Kematian neonatus sering ditemukan, tetapi bila dapat bertahan dalam minggu-minggu awal kelahiran, umumnya akan memperlihatkan perbaikan. Walaupun demikian, prognosis jangka panjang umumnya buruk. Myotonic distrophy kongenital umumnya ditemukan pada bayi dengan ibu yang mengalami myotonic dystrophy.
Kontraksi uterus yang tidak efektif, persalinan prematur dan presentasi bokong sering merupakan komplikasi dalam persalinan. Oxytocin dapat merangsang uterus yang miotonik untuk memperbaiki kontraksi. Anaestesi regional lebih disukai daripada anaestesi umum. Setelah persalinan disfungsi uteri hipotonik menyebabkan meningkatnya risiko retensio plasenta dan perdarahan post partum. Setengah dari anak yang lahir dari ibu dengan myotonia mewarisi kelainan tersebut.
Penanganan sebelum kehamilan dan antenatal berupa pemeriksaan EKG dan tes fungsi paru harus dilakukan untuk mendeteksi adanya tidaknya gejala dan tanda aritmia. Aktivitas fisik sebaiknya dikurangi untuk memperlambat progresifitas dari gejala. Konseling genetik dan pemeriksaan DNA sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan USG secara serial dilakukan untuk menghitung volume cairan amnion
Selain risiko terjadinya persalinan prematur, disfungsi otot polos uterus dan gangguan proses persalinan. Hal ini dapat diatasi dengan augmenatasi his dengan oksitoksin dan biasanya memberikan hasil yang efektif. Mempersingkat kala II dilakukan pada wanita dengan kelemahan yang nyata. Perdarahan postpartum merupakan komplikasi yang tersering dan harus diantisipasi.2
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat terjadi dan harus dipertimbangkan dalam pemberian analgesia / anestesia. Anestesia lokal atau regional lebih disukai. Adanya risiko terjadi apneu, membuat bahan narkotik sebaiknya digunakan dengan hati-hati. Bahan penghambat neuromuskuler non-depolarisasi sebaiknya dihindari sebab kontraktur otot generalisata menyulitkan penanganan jalan napas.2
Ahli pediatrik harus berada di rang bersalin untuk memberikan resusitasi dan ventilasi neonatal.2

MYOPATI INFLAMATORIK
Kehamilan memicu terjadinya polymyositis yaitu peradangan otot sebagai akibat proses imunologik. Diperkirakan lebih dari setengah kehamilan pada ibu yang menderita miopati inflamasi berakhir dengan aborsi, lahir mati atau kematian neonatal. Banyak obat-obat immunosupresif menyebabkan gangguan yang berbahaya pada janin , namun bayi dapat hidup dengan baik setelah persalinan.

NEUROPATI
BELL’S PALSY
Bell’s Palsy atau prosoplegia adalah Parese facialis tipe perifer terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui atau tidak menyertai penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis.
Penyakit ini dapat mengenai semua umur namun demikian lebih sering terjadi pada umur 20 – 50 tahun. Pada kehamilan trimester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya penyakit ini ditemukan 4 kali lebih banyak. Penyakit ini biasanya sembuh dengan sendirinya namun terapi kortikosteroid jangka pendek tampaknya memperbaiki prognosis pasien dengan parese facialis yang komplit.
Pemeriksaan elektromiografi dapat membentu untuk menilai prognosis, jika denervasi melebihi 10 hari maka penyembuhan lebih lama bahkan mungkin sembuh tidak sempurna.

CARPAL TUNNEL SYNDROME
Carpal tunnel syndrome terjadi akibat kompresi atau terjebaknya nervus medianus pada carpal tunnel dipergelangan tangan. Diperkirakan kurang lebih 1/5 ibu hamil mengalami CTS sewaktu hamil utamanya pada akhir trimester ketiga, gejalanya beruparasa baal / parestesia pada jari ketiga dan keempat tangan pada malam hari saat ingin tidur. Faktor predisposisi terhadap keadaan ini adalah peningkatan berat badan yang berlebihan dan retensi cairan. Oleh karena ibu hamil dengan sindroma carpal Tunnel dapat diharapkan gejalanya membaik setelah persalinan maka terapi konsevatif merupakan pilihan berupa istirahat dan membebat pergelangan tangan



MERALGIA PARESTHETICA
Parastesia unilateral atau bilateral pada distribusi nervus cutaneus femoralis lateralis akibat kompresi saraf itu di bawah ligamentun inguinale. Keluhan ini dapat timbul pada usia kehamilan sekitar minggu ke 13 sesuai dengan meningkatnya pembesaran abdominal berupa rasa baal, tidak enak, rasa terbakar atau nyeri pada paha bagian lateral dan tidak ditemukan defisit neurologik lainnya, keluhan ini diperburuk pada posisi berdiri atau berjalan. Obesitas, lordosis dan partus lama dapat memicu timbulnya penyakit tersebut.
Selama kehamilan dapat diatasi dengan duduk. Parestesia umumnya membaik dalam 3 bulan setelah persalinan. Pemberian carbamazepine, amitriptilin atau injeksi steroid – lidokain dapat berguna.

GUILLIAN BARRE SYNDROME
Guillian Barre Syndrome (GBS) suatu kelainan immunobiologik baik secara primary immune response maupun immune mediated process yang ditandai oleh kelemahan / kelumpuhan otot ekstremitas yang akut dan progresif biasanya muncul setelah infeksi. Penyebab infeksi umumnya virus dari kelompok herpes namun dapat pula didahului oleh infeksi bakteri, vaksinasi, gangguan endokrin, tindakan operasi anaestesi dan sebagainya.
GBS yang timbul bersamaan dengan kehamilan merupakan suatu koinsidental. GBS sendiri secara umum tidak dipengaruhi oleh kehamilan demikian pula sebaliknya kehamilan dan persalinan tidak dipengaruhi oleh GBS. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita GBS umumnya tidak terpengaruh. Pemberian plasmapheresis cukup aman selama kehamilan meskipun ibu hamil khususnya dengan disfungsi autonomik dapat menjadi sensitif terhadap perubahan dalam volume plasma.

POLYNEUROPATI YANG LAIN
Angka kekambuhan “chronic Inflamatory demyelinating polyneuropathy” selama trimester ketiga kehamilan dan puerpuerium diperkirakan tiga kali lebih besar dari pada yang diduga, sebaliknya bayi tidak terpengaruh. Untuk penyebab yang tidak diketahui perburukan dapat terjadi dengan pemakaian kontrasepsi oral pada saat post partum.
Diperkirakan kurang lebih setengah perempuan dengan penyakit “Charcot Marie- Tooth tipe 1 yang onset terjadi pada masa kanak-kanak, penyakitnya memburuk selama kehamilan. Risiko perburukan selama kehamilan dapat berkurang jika onset terjadinya setelah dewasa. Perbaikan dapat terjadi setelah persalinan. Kehamilan maupun hasil kehamilan tidak terpengaruh.

PARESE OBSTETRIK MATERNAL
Kepala bayi, pemakaian forcep dan posisi yang tidak sesuai pada sandaran tungkai dapat menyebabkan jebakan saraf perifer (entrapment of peripheral nerve) intrapartum. Disproporsi sefalopelvik dan dystosia sering mendahului penyakit ini. Umumnya ibu hamil yang terkena adalah primipara dengan keluhan nyeri tajam atau terbakar.
Parese obstetrik maternal yang tersering adalah iritasi / kompresi unilateral pada pleksus lumbosacral (radiks L4 dan L5) oleh kening janin saat melewati tepi posterior pelvis. Perbaikan biasanya terjadi dalam waktu 6 minggu.

C. GANGGUAN CEREBRAL
CHOREA GRAVIDARUM
Chorea gravidarum adalah suatu gerakan involunter berupa gangguan hiperkinetik yang ditandai dengan gerakan tungkai yang kasar, cepat, tidak dapat dipertahankan, tanpa tujuan, ireguler dan tidak berirama.
Penyebab yang paling sering adalah penyakit jantung rematik, sistemik lupus eritamatosus, antiphospholipid antibodi. Selain itu dapat disebabkan oleh Wilson”s disease, Cerebrovascular disease, Meningovascular syphilis, Hyperthyroidism, Neuroacanthocytosis, Huntington”s disease, Adult onset Tay Sachs, obat-obatan : Antiepileptic drug, Neuroleptic, Theophylline derivates, Lithium, Tricyclic antidepressants, Lead toxicity, Amphetamines, Cocaine, Metaclopramide,
Chorea gravidarum biasanya timbul pada trimester kedua kehamilan dan sembuh spontan dalam waktu minggu sampai bulan, sering dalam waktu singkat setelah melahirkan. Pilihan terapi tergantung pada penyebab dan beratnya penyakit. Haloperidol dan kortikosteroid dapat digunakan untuk terapi jangka pendek.

MULTIPLE SKLEROSIS
Multiple sklerosis (MS) merupakan suatu kelainan demyelinating yang mengenai sistem saraf pusat pada tingkat yang berbeda dan pada saat yang bervariasi. Kelainan ini sering ditemukan pada dewasa muda, dengan puncak insidens pada usia 30 tahun dan wanita 2 kali lebih banyak dari pada pria.2,6
Kelainan ini mungkin disebabkan karena kelainan autoimmun. Ditandai dengan disfungsi neurologik baik fokal maupun multifokal yang bersifat serangan yang rekuren dengan ekserbasi dan remisi.1
Gejala yang ada berupa diplopia yang tiba-tiba, vertigo, gangguan keseimbangan pada saat berjalan, inkontinensia urin, kehilangan penglihatan dan kelelahan. 2 Hampir 40% penertita mengalami neuritits optik selama perjalanan penyakit ini. MS tanpa komplikasi mungkin hanya mempunyai sedikit pengaruh pada kehamilan. Angka kekambuhan selama kehamilan menurun sejalan dengan bertambahnya trimester kehamilan. Anak-anak dengan ibu menderita MS mempunyai risiko 3% untuk menderita MS, sedang dari ibu yang normal 0,1%.1,2
Kurangnya data yang tersedia tentang keamanan obat-obatan baru (seperti interferon) terhadap janin yang digunakan untuk mencegah kekambuhan. Anaestesi epidural dapat digunakan, uterus gravid mungkin memperburuk fungsi kandung kemih dan usus. Fluktuasi spastisitas selama kehamilan sering meningkat seiring meningkatnya kontraksi uterus.
Penanganan sebelum kehamilan berupa evaluasi sebelum konsepsi dan konseling harus dilakukan dengan menekankan pada aktivitas penyakit. Kenyataan bahwa kebanyakan penderita mengalami perbaikan seiring bertambahnya trimester kehamilan, sehingga dipertimbangkan untuk menghentikan pengobatan atau mengurangi dosis seminimal mungkin. Penderita juga harus diberitahu sebelumnya bahwa keturunan mereka mempunyai risiko untuk menderita penyakit yang sama. Tidak ada pengobatan yang efektif untuk penyakit ini. Kortikosteroid hanya dapat mengurangi flares akut yang berat, tetapi tidak dapat memberikan perbaikan yang menetap.1 Pengobatan yang digunakan untuk penyakit ini adalah Copolymer 1 atau glatiramer acetat, interferon ß1b dan interferon ß1a, walaupun data FDA mengenai penggunaan obat ini pada kehamilan sangat kurang. Selain itu kortikosteroid dapat juga diberikan.1,2,6
Pada masa antenatal penderita harus diawasi terhadap kemungkinan meningkatnya aktivitas penyakit dan perhatian khusus pada risiko pengobatan karena kurangnya informasi. Bila terdapat gangguan pada saluran kemih, maka perlu dilakukan skreening untuk pemeriksaan bakteriuri. Terapi fisik dan latihan peregangan harus tetap dilakukan.2
Pada masa persalinan dan pasca persalinan, MS tidak memberikan pengaruh terrhadap proses persalinan. Pemberian kortikosteroid jangka panjang pada masa kehamilan membutuhkan penurunan dosis selama persalinan. Dosis yang lazim digunakan adalah 100 mg perenteral setiap 8 jam. Kelelahan ibu pada kala II dapat diatasi dengan melakukan forsep ataupun vakum ekstraksi. Dulu, penggunaan anestesia spinal dihindari karena dikhawatirkan meningkatkan risiko eksaserbasi, tetapi tidak ada data yang mendukung hal tersebut. Dengan demikian pemberian anestesia spinal, epidural, dan anestesia umum dapat diberikan. Menyusui tetap dianjurkan, karena tidak akan meningkatkan frekuensi atau memperberat relaps postpartum.1,2,6

TUMOR OTAK
Umumnya tumor otak muncul pada pertengahan kedua kehamilan. Glioma maligna supratentorial dan banyak tumor infratentorial harus dioperasi selama kehamilan. Meningioma memiliki reseptor estrogen, hal ini menerangkan kekerapan tumor ini membesar selama kehamilan, Hemangioma spinalis tampaknya lebih cendrung ruptur selama kehamilan. Gejala gejala meningioma, tumor vaskuler, neurinoma akustik dapat remisi pada saat post partum. Karena herniasi batang otak dapat terjadi selama kehamilan, umumnya penderita melahirkan melalui tindakan sectio sesarea. Indikasi untuk menghentikan kehamilan sebelum aterm bila ditemukan adanya tanda-tanda peningkatan intrakranial yaitu gangguan penglihatan akibat adanya edema papil.

TUMOR HIPOFISE
Hipofise normal dan tumor hipofise ber tumbuh selama kehamilan. Mikroadenoma yang kecil jarang membesar sampai menimbulkan gejala tertentu. Ibu dengan makroadenoma sebaiknya disarankan untuk operasi transsfenoidal sebelum kehamilan atau mendapat terapi bromokriptin selama kehamilan. pemeriksaan lapangan penglihatan dan ketajaman penglihatan sebaiknya dilakukan setiap bulan. Monitor kadar prolaktin tidak banyak manfaatnya. Pada ibu dengan makroprolaktinoma simptomatik selama kehamilan, terapi pilihan adalah bromokriptin, terminasi kehamilan atau operasi.
Bromokriptin mengurangi ukuran tumor dalam waktu 6 minggu – 6 bulan . Obat ini tidak berefek teratogenik, namun menekan laktasi. Ibu dengan hiperprolaktinemia yang tidak diterapi sering anovulasi dan infertil. Terapi dengan agonis Dopamin menghasilkan ovulasi pada 90% penderita.

KORIOKARSINOMA
Manifestasi serebral sering merupakan gejala dari tumor ini. Metastasis pertama ke paru dan kemudian ke otak yang dapat terjadi berbulan-bulan setelah kehamilan mola atau abortus, tetapi kira-kira 15 % dari tumor ini timbul setelah kehamilan normal. Gambaran awal adalah kejang, perdarahan, infark, defisit neurologis yang progreasif cepat. Tumor dapat menginvasi pleksus sakralis, cauda equina atau canalis spinalis. Pengobatan dengan kemoterapi, radiasi dan operasi dapat berhasil jika diagnosis ditegakkan sedini mungkin.

HIPERTENSI INTRAKRANIAL IDIOPATIK (PSEUDO TUMOR SEREBRI)
Hipertensi Intrakranial Idiopatik (HII) memburuk pada kehamilan. Sebaiknya menunda kehamilan sampai semua gejala hilang. Pengakhiran kehamilan tidak dianjurkan. Bayi bisa sehat meskipun HII timbul sebelum atau selama kehamilan. HII biasanya berkembang pada kehamilan 14 minggu dan menghilang setelah 1-3 bulan, tetapi kadang-kadang menetap sampai awal puerpuralis. Penatalaksanaan sama dengan wanita tidak hamil yaitu melakukan punksi lumbal untuk menurunkan tekanan intra kranial dan mengurangi nyeri kepala, Acetazolamide oral, 250 mg diberikan 2 kali sehari, selain itu elektolit hendak dimonitor untuk menghindari acidosis metabolik. Biasanya tidak kambuh lagi pada kehamilan berikutnya.

EPILEPSI
Insidens kejang pada kehamilan adalah 0,3 – 0,6 %. Kira-kira 1/3 kasus frekuensi serangan meningkat, 1/3 tidak berubah dan 1/3 membaik pada saat kehamilan. Meningkatnya frekuensi serangan terutama terjadi dalam trimester terakhir dan terutama pada penderta epilepsi berat.
Perubahan farmakokinetik antikonvulsan selama kehamilan dianggap sebagai penyebab meningkatnya frekuensi kejang selama kehamilan. Metabolisme hepar yang meningkat, absorpsi gastrointestinal yang menurun serta peningkatan konsentrasi estrogen dan progesteron mempercepat metabolisme enzim. Peningkatan klirens ginjal dan volume distribusi menurunkan konsentrasi obat dalam serum, perubahan ini diimbangi dengan penurunan protein-binding site yang disebabkan oleh penurunan albumin plasma oleh karena itu Kadar konsentrasi obat antiepileptik serum seharusnya dimonitor paling kurang 1 kali tiap trimester, dalam bulan terakhir kehamilan dan dalam 8 minggu postpartum. Pemantauan kadar konsentrasi obat anti epileptik harus dilakukan lebih sering pada frekuensi kejang yang tinggi, terdapat tanda dan gejala toksisitas, adanya kecurigaan penderita tidak patuh, riwayat peningkatan frekuensi kejang atau status epileptik sebelum hamil. Pengaturan pengobatan harus dibuat untuk mengontrol kejang dan mempertahankan konsentrasi serum pada rentang terapeutik saat mendekati aterm. Untuk menghindari toksistas dosis obat sebaiknya diturunkan setelah 1 bulan postpartum.7
Selama kehamilan konsentrasi Carbamazepin, fenitoin, valproic acid dan fenobarbital menurun. Hanya konssentrasi fenobarbital bebas menurun, dan konsentrasi valproic acid bebas jelas meningkat.


Penanganan Epilepsi Pada Kehamilan
Protokol yang disetujui bersama dalam penanganan wanita dengan epilepsi selama kehamilan adalah :
1. Gunakan obat pilihan pertama yang sesuai jenis kejang dan sindrom epilepsi.
2. Gunakan prinsip monoterapi dengan dosis dan kadar dalam plasma yang paling rendah dan efektif untuk melindungi terhadap kejang tonik-klonik.
3. Hindari penggunaan valproate atau carbamazepine apabila ada riwayat keluarga tentang defek neural tube.
4. Hindari politerapi, khususnya kombinasi dengan valproate, carbamazepine dan fenobarbital.
5. Monitor kadar OAE dalam plasma secara teratur dan apabila mungkin, periksalah kadar OAE bebas atau terikat.
6. Pemakaian suplemen asam folat setiap hari dan pastikan kadar plasma normal dan kadar folat sel darah merah selama periode organogenesis pada trimester pertama.
7. Apabila diberikan valproat, hindarilah kadar dalam plasma yang tinggi. Bagilah obat tadi 3 – 4 kali pemberian setiap harinya.
8. Pada kasus-kasus yang diberi valproat atau carbamazepine, tawarkanlah untuk pemeriksaan alfa fetoprotein pada umur kehamilan 16 minggu dan pemeriksaan ultrasonografi pada kehamilan 18 – 19 minggu, untuk mencari defek neuraltube. Ultrasonografi pada kehamilan 22-24 minggu dapat mendeteksi sumbing dan kelainan jantung.

Komplikasi janin
Secara umum kejang tonik klonik dapat menyebabkan “transient fetal asphyxia” dan trauma akibat terjatuh yang dapat menyebabkan edema pada fetus dan persalinan prematur. Bayi baru lahir yang terpapar obat anti konvulsan selama kehamilan berisiko untuk penyakit perdarahan. Defisiensi Vit. K yang tergantung faktor-faktor pembekuan berhubungan dengan pemberian antikonvulsan terutama politerapi, oleh karena itu pemberian Vit .K intra muskuler secara rutin pada bayi baru lahir sangat diperlukan. Risiko malformasi kongenital pada bayi baru lahir dengan ibu yang epilepsi adalah 5-7%, sebaning dengan 1-3% dari keseluruhan populasi.

Status epileptikus2
Status epileptikus merupakan suatu keadaan darurat dan membutuhkn perawatan rumah sakit dan pengobatan. Faktor penyebab seperti infeksi atau metabolik harus dipikirkan, dan mengontrol kejang harus secepatnya dilakukan.

Penanganan Status Epileptikus
1. Pasang infus, pemeriksaan darah untuk menilai gambaran toksikologi, glukosa, BUN, elektorlit, hitung jenis darah dan kadar antikonvulsan darah, analisa gas darah arterial dan pH darah. Monitor tanda vital dengan elektrokardiogram. Monitor keadaan janin.
2. Pemberian NaCL . Thiamin 100 mg im. Bolus 50 mL glukosa 50%.
3. Pemberian diazepam iv tidak lebih cepat 2 mg/menit sampai kejang berhenti atau total 20 mg telah diberikan. Infus phenytoin tidak lebih cepat dari 50 mg/menit sampai total dosis 18 mg/kgBB Infus dipelankan jika terjadi bradikardi atau hipotensi.
4. Intubasi endotrakheal. Dizepam drips : larutkan 50 mg dalam 500 cc dekstrose 5% dengan kecepatan 5-10 mg/jam, titrasi kecepatan untuk mengontrol kejang. Dapat digunakan Lorazepam. Loading dose Phenobarbital dapat diberikan sebagai pengganti diazepam tetapi kedua obat jangan diberikan bersama-sama sebab depresi pernapasan yang berat dapat terjadi.
5. Jika kejang menetap, beri halothane atau anestesia inhalasi lain, dengan blokade neuromuskuler Lidokain iv 50 – 100 mg mungkin perlu dicoba pertama kali. Jika efektif infus lidokain 1-2mg/menit diberikan.

PENYAKIT SEREBROVASKULER
Diperkirakan 5 –10 %, kematian ibu karena stroke. Insidens stroke pada kehamilan sangat bervariasi dari 1 per 481 kelahiran sampai 0 / 26.099 lahir hidup. Pada RS parkland, 20 % penderita dengan stroke akut meninggal dan 40 % yang hidup dengan defisit neurologis. Dari The maternal Mortality Collaborative Report dilaporkan dari 601 kematian ibu dari tahun 1980 –1985, 8,5 % diakibatkan oleh stroke. Angka kematian stroke iskemik dengan kehamilan adalah 30 % dibanding dengan kelompok stroke tanpa kehamilan hanya 10 %.

STROKE ISKEMIK
Oklusi arteri akuta terjadi pad 60 –80 % stroke iskemik dalam periode kehamilan dan post partum. Stroke iskemik lebih sering terjadi pada trimester kedua, ketiga dan minggu pertama post partum, sebaliknya trombosis vena lebih sering pada awal postpartum.
Faktor risiko untuk iskemik stroke meliputi hipertensi, diabetes mellitus, dan hiperlipidemia. Penyebab dari stroke iskemik belum dimengerti secara utuh, tetapi stroke iskemik dalam kehamilan dikaitkan dengan hiperkoagubilitas dan antibodi antiphospholipid diduga sebagai faktor yang turut berperan. Oklusi arteri serebral akuta berhubungan dengan arteriopati, kelainan darah emboli kardiogenik dari sumber nonkardiak dan kondisi lain seperti narkoba dan migren, kadang-kadang penyebabnya tidak diketahui. Hipotensi berat yang terjadi secara tiba tiba dapat menyebabkan stroke iskemik pada area watershed otak. Hal ini dapat juga menyebabkan nekrosis hipofise akut (Sheehans Syndrome), kadang kadang penyebabnya tidak diketahui.
Trombosis vena serebral lebih sering pada masa nifas. Trombosis sinus sagitalis yang meluas secara sekunder ke vena kortikal dan trombosis primer pada vena kortikal merupakan bagian yang paling sering terjadi. Secara klinis sindroma trombosis vena timbul dengan nyeri kepala yang progressif disertai mual dan muntah, gangguan penglihatan, dan gangguan mental sekunder akibat tekanan intrakranial yang meningkat. Kejang fokal atau umum dapat terjadi. Infark vena cendrung mengalami perdarahan. Penyakit yang berpredisposisi pada keadaan ini adalah polisitemia vera, kanker, leukemia, dehidrasi dan anemia cell sickle. Angka kematian trombosis vena serebral diperkirakan 25 %.
PENANGANAN
Antenatal, persalinan, pasca persalinan
Adanya defisit neurologik fokal pada wanita hamil, yang bersifat sementara (< 24 jam) atau menetap, seharusnya memperkuat dugaan adanya iskemia serebral. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama dapat memberikan informasi yang cukup untuk menegakkan diagnosis.2
Pencitraan (imaging) untuk menilai keadaan otak bukan merupakan suatu kontraindikasi. 2,3
Pemeriksaan darah termasuk hitung jenis, trombosit, elektrolit, glukosa serum, blood urea nitrogen, antikoagulan lupus dan antibodi antikardiolipin, faktor reumatik, VDRL dan pemeriksaan HIV harus dilakukan. Pemeriksaan darah lainnya seperti protein C dan S dan antitrombin, resistensi protein C aktif dan polymerase chain reaction untuk faktor V Leiden, bersama-sama dengan protein serum dan elektroporesis darah, juga dianjurkan. Pemeriksaan toksikologi urin dan darah juga harus dilakukan. Jika diduga penyebabnya berasal dari jantung, EKG, echocardiogram, monitor holter dan pemeriksaan tombosis venosus profunda diindikasikan. Pemeriksaan pungsi lumbal juga direkomendasikan. Jika etiologi tidak diketahui, dianjurkan untuk melakukan angiografi serebral.2
Pemberian antikoagulan baik berupa profilaktik ataupun terapeutik dibutuhkan pada keadaan-keadaan trombosis dan emboli. Bila diperlukan, heparin merupakan obat pilihan. Pilihan lain adalah warfarin, tetapi menimbulkan efek samping berupa embryopathy pada trimester pertama dan potensial untuk perdarahan janin. Heparin tidak melewati sawar plasenta dan kerjanya lebih singkat daripada warfarin.2
Pemberian warfarin bila heparin tidak memungkinkan adalah pada usia kehamilan 12 – 36 minggu, tetapi dengan konseling yang hati-hati.6
Penurunan risiko terhadap janin membuat penanganan peripatum menjadi lebih mudah dan lebih dapat diramalkan. Komplikasi dari pemberian heparin selain perdarahan adalah trombositopenia dan osteopeni.2,5,6
Dosis profilaktik untuk heparin cenderung meningkat selama kehamilan dan makin meningkat sehubungan dengan peningkatan usia kehamilan. Dosis tipikal adalah 7500 – 10.000 IU/ml subkutan tiap 12 jam, untuk mencapai kadar heparin plasma 0,2 – 0,4 Iu/mL atau partial thromboplastin time aktivasi (aPTT) rasio 1,5 kali dari nilai kontrol 6 jam setelah pemberian. Untuk profilaksis, Toglia dan Weg menganjurkan regimen yang sama sebab hiperkoagulopati yang dihubungkan dengan kehamilan adalah 7500 – 10.000 IU 2 kali sehari untuk mencapai kadar heparin plasma dalam 6 jam adalah 0,1 – 0,2 IU/mL. 2,6
Pemeriksaan faktor anti-Xa merupakan alternatif untuk mengawasi pengobatan. Heparin harus dihentikan pada saat persalinan mulai, walaupun bukan merupakan suatu hal yang mutlak. Anestesia spinal dan epidural aman diberikan jika aPTT normal dan heparin sudah diihentikan 4 – 6 jam sebelumnya. 6
Akhir-akhir ini heparin dengan molekul berat rendah (LMWH) dipertimbangkan.1,2,6
LMWH memberikan efek antitrombotik dengan menghambat faktor Xa. Efektif dalam mencegah dan mengatasi trombosis, dan tampaknya memiliki risiko yang kecil terhadap janin dan neonatal karena tidak melewati sawar plasenta. Risiko perdarahan juga kecil, walaupun diberikan selama dan setelah persalinan. Keuntungannya termasuk durasi kerja yang lebih lama, lebih memberikan efek antitrombotik dan diduga menurunkan risiko trombositopenia dan osteopenia. Data awal penggunaan selama kehamilan diduga aman dan efektif untuk mencegah komplikasi trombotik serebral. 6
Pengobatan stroke iskemia akut dengan heparin molekul rendah manfaatnya belum jelas. Penderita dengan trobofilia herediter membutuhkan antikogulan sebelum kehamilan dan memerlukan dosis terapeutik sebelum konsepsi atau bila kehamilan sudah ditegakkan.2,6
Pengobatan yang optimal untuk resistensi protein C aktif sampai saat ini belum diketahui. Heparin dapat digunakan dengan dosis profilaksis. Pengobatan yang optimal untuk sindrom antifosfolipid antibodi sampai saat ini masih diteliti. Bebarapa penulis merekomendasikan penggunaan aspirin dosis rendah (60-80 mg/hari) dan heparin selama kehamilan. Penggunanaan kotikosteroid, imunosupresi atau plasma exchange, gamma globulin intravena tidak direkomendasikan. Penderita kardiomiopati atau atrium fibrilasi dapat diberikan heparin dengan dosis profilaktik ataupun terapeutik.
Terapi trombolitik untuk stoke iskemia akut diindikasikan secara hati-hati. Efek penggunaanya pada kehamilan dan pada saat menyusui belum diketahui.2
Pemberian aspirin dosis rendah menurunkan aktivitas penghambat plasminogen dan reaktivitas trombosit selama kehamilan dan masa nifas. Beberapa penelitian penggunaan aspirin 60 mg perhari selama kehamilan, secara umum ditemukan aman, walaupun terdapat peningkatan insidens solusio plasenta.6

STROKE HEMORAGIK
Stroke hemoragik terdiri dari perdarahan intra serebral (PIS) dan perdarahan sub arahknoid (PSA). PSA dilaporkan sebagai penyebab kematian ibu non obstetrik nomor tiga paling sering. PSA dapat disebabkan oleh rupturr aneurisma, AVM, eklampsia atau pemakai kokain. PIS dapat terjadi akibat eklampsia, hipertensi yang tidak berhubungan dengan eklampsia, ruktur AVM, thrombosis vena serebral, vaskulitis dan choriocarcinomo.
Aneurisme serebral sering ditemukan pada cabang-cabang utama arteri carotis interna. Diperkirakan 1 % perempuan umur reproduksi mempunyai aneurisme serebral, kemungkinan ruptur dihubungkan dengan ukuran aneurisme. Secara klinis gambaran khas dari ruptur aneurisme serebral adalah sakit kepala yang hebat, muntah, meningismus, photofobia, perubahan status mental sampai dengan koma. Koma merupakan tanda prognostik buruk. Sebanyak 50 % mengalami perdarahan yang ringan / sentinel yang terjadi beberapa minggu atau beberapa bulan sebelumnya.
Risiko ruptur aneurisme selama kehamilan, pada penelitian terakhir menunjukkan bahwa kehamilan mempunyai sedikit atau tidak ada efek pada insidens ruptur. Penelitian lain melaporkan bahwa risiko ruptur lima kali lebih banyak daripada penderita tidak hamil. Risiko terjadinya PSA pada kehamilan 85 % berbanding 10% pada kelompok tidak hamil, dan AVM sebagai penyebab perdarahan 50% pada kehamilan dan 10 % pada penderita tidak hamil.
AVM cenderung ruptur pada kehamilan 20 minggu – 6 minggu postpartum. Perdarahan oleh karena AVM selama kehamilan menyebabkan 20 % angka kematian dibanding 10 % pada penderita yang tidak hamil. Angka kematian keseluruhan penderita ruktur aneurisme 35 %. Dimana hampir sama dengan yang tidak hamil. Penting untuk membedakan eklampsia dengan perdarahan serebral dan ruptur aneurisme dan AVM karena penanganan berbeda.

PENANGANAN
Antenatal
Kadang-kadang, SAH sulit dibedakan dengan eklampsia, sehingga sering menyebabkan keterlambatan diagnosis dan lebih memperburuk hasil luaran. Adanya kelainan neurologis pada ibu hamil harus diperiksa dengan seksama. CT scan otak, pungsi lumbal (jika perlu) dan angiografi serebral merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan. CT scan dapat menentukan lokasi dan tipe perdarahan dengan tingkat ketepatan yang tinggi. Jika gambaran CT scan normal, pungsi lumbal dapat dilakukan untuk melihat adanya darah atau xanthochromia. Cairan serospinal yang mengandung darah mendukung diagnosis SAH, tapi dapat pula ditemukan pada keadaan lain seperti eklampsia. Angiografi serebral merupakan pemeriksaan yang terbaik dalam menentukan adanya abnormalitas vaskuler. Angiografi saja mungkin saja dapat gagal menemukan adanya penyebab SAH pada 20% kasus, dan pada keadaan ini pemeriksaan perlu diulang untuk menghilangkan false-negatif. MRI dapat membantu untuk mengidentifikasi lesi.2
Penanganan SAH didasarkan pada prinsip-prinsip neurologik dengan hanya sedikit perubahan selama kehamilan. Tujuan utama adalah mencegah dan mengobati komplikasi neurologis. Pemotongan aneurisma yang lebih awal (<4 hari) sekarang ini dianjurkan pada penderita post SAH yang sadar. Perbaikan hasil luaran janin dan ibu telah diperlihatkan pada intervensi awal dengan pembedahan pada penderita yang hamil.2
Penderita dengan defisit neurologis yang bermakna, kurang memungkinkan untuk dilakukan operasi pemotongan aneurisma sebab dapat meningkatkan mortalitas. Sejumlah pasien memerlukan terapi medikamentosa sampai keadaan membaik.2
Waktu yang tepat untuk melakukan reseksi AVM lebih kontroversial disebabkan karena jumlah kasus yang kecil. Alternatif lain yang lebih dapat diterima adalah melakukan embolisasi dari AVM dibawah kontrol angiografi.2
Terdapat dua pengobatan intraoperatif yaitu hipotensi dan hipotermi yang umum dilakukan untuk mengurangi komplikasi. Hipotensi dilakukan untuk menurunkan risiko ruptur aneurisma selama pembedahan. Walaupun hipotensi maternal mrupakan ancaman bagi janin, tetapi hal ini berhasil dengan pemberian sodium nitroprusside atau isoflurane pada sejumlah kasus. Berdasarkan penelitian, pemberian sodium nitroprusside dapat memberikan efek toksik sianida terhadap janin, sehingga pada pembedahan pemberian tidak melebihi 10 µg/kg/min. Efek hipotensi ibu terhadap janin harus dievaluasi dengan electronic fetal hearth monitoring. Bila terjadi perubahan yang merugikan pada aktivitas jantung menunjukkan bahwa dibutuhkan tindakan untuk menaikkan tekanan darah ibu. Banyak obat-obat anestesia yang dapat menurunkan aktivitas jantung, oleh karena itu menyulitkan interpretasi fetal hearth monitoring. Hiperventilasi yang berlebihan selanjutnya menurunkan aliran darah uterus selama pemberian sodium nitroprusside dan harus dihindari. Oleh karena risiko terhadap janin, beberapa penulis menganjurkan seksio sesarea sebelum pembedahan jika janin sudah matur.2
Hipotermi dilakukan selama operasi aneurisme dimaksudkan untuk melindungi otak dari iskemia yang disebabkan oleh ruptur aneurisma, luka retraksi atau hipotensi. Stange dan Halldin menganjurkan hipotermi karena dapat ditoleransi dengan baik oleh ibu dan janin. Walaupun demikian penanganan dengan hipotermi dan hipotensi masih kontroversi.2
Terapi medikamentosa untuk SAH ditujukan untuk mengurangi risiko perdarahan ulang dan iskemia serebral yang disebabkan oleh vasospasme. Pasien ditempatkan pada ruangan yang gelap dan tenang. Diberikan pelunak feses, sedatif dan analgesia. Nimodipin suatu dihydropyridine calcium channel blocker sering diberikan dan memperlihatkan perbaikan neurologik. Namun dianjurkan untuk berhati-hati pada pemberian untuk wanita hamil, karena keamanannya belum sepenuhnya diakui.2
Ε-Aminocaproic acid (EACA) dan tranexamic acid digunakan untuk menghambat aktivasi plasminogen, suatu prekursor plasmin protein fibrinolitik utama dan menurunkan insiden perdarahan ulang. Tetapi pada penelitian klinik, tidak menunjukkan adanya perbaikan dalam mengurangi perdarahan ulang. Dan karena kurangnya keuntungan yang dapat diperoleh dan dapat mempengaruhi fibrinolisis janin yang dapat dihubungkan dengan perkembangan hyalin membrane disease, sehingga tidak digunakan lagi saat ini.2
Glukokortikoid yang paten seperti deksametason digunakan secara luas untuk mengobati edema serebral dan iskemia. Dukungan pada penggunaannya tidak hanya berdasarkan hasil penelitian, tetapi juga dari perbaikan klinis penderita tumor otak. 2
Edema serebral dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraserebral, sehingga harus diawasi. Jika terdapat peningkatan intrakranial yang disebabkan oleh edema serebri, pemberian manitol suatu diuretik osmotik dapat dilakukan. Pemberiannya sekitar 12,5-50 gr secara intravena, diperlukan untuk tetap mempertahankan tekanan intrakranial dibawah 20 mmHg.2

Persalinan
Pada penderita yang berhasil dilakukan perbaikan terhadap aneursima atau AVM, diajurkan untuk melakukan persalinan dengan seksio sesarea. Jika AVM menjadi penyebab dari SAH, dianjurkan untuk melakukan sterilisasi.2

KEPUSTAKAAN

1. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hankins GD, Clark SL, editors. Neurological and psychiatric disorders : Williams Obstetrics. 20th ed. United States Of America: Prentice-Hall Internatonal, Inc;1997. p. 1255-65.
2. Carhuapoma, JR, Tomlinson MW, Levine SR. Neurological disease. In: James DK, Steer PJ, Weiner CP, Gonik B, editors. High risk pregnancy management option. 2nd ed. London: W.B. Saunders; 1994. p. 803-30.
3. Kohn NV. Neurologic diseases. In: Principles and practice of medical therapy in pregnancy. 2nd ed. Norwalk: Appleton & Lange. p. 1224-32.
4. Shaner DM. Neurological problems of pregnancy. In: Pocket companion to neurology in clinical practice. p. 715-22.
5. Hughes MJ. Pregnancy related neurological emergencies. In: Shah SM, Kelly KM, editors. Emergency neurology: principles and practice. London: Cambridge University Press. p. 515- 26.

6. Pschirrer ER, Monga M. Medical complication of pregnancy, seizure disorder in pregnancy. Obstetrics and Gynecology Clinics.. 2001 September;28(3).1-11.
7. Eller, DP, Patterson CA, Webb GW. Prescribing in pregnancy, maternal and fetal implication of anticonvulsive therapy during pregnancy. Obstetric and Gynecology Clinics. 1997 September;24(3).1-10.
8. Gilmore J, Pennel PB, Stern BJ. Medication use during pregnancy for neurologic conditions. Neurologic clinics. 1998 February;16(1).1-2.
9. Foldvary N. Epilepsy, treatment issues for women with epilepsy. Neurologic clinics. 2001 May; 19(2).1-16.
10. Witlin AG, Mattar F, Sibai BM. General obstetric and gynecology, postpartum stroke: a twenty-year experience. American Journal of Obstetric and Gynecology. 2000 July;183(1).1-8.
11. Rose VL. Special medical reports, new guidelines offer recommendations for women with epilepsy. American Family Physician. 1999 March; 59(6).1-2.
12. Branch DW, Porter TF. Autuimmune disease. In: James DK, Steer PJ, Weiner CP, Gonik B, editors. High risk pregnancy management option. 2nd ed. London: W.B. Saunders; 1994. p. 876-9.
13. Batocchi AP, Majolini L, Evoli A, Lino MM, Minisci C, Tonali P. Views & reviews, course and treatment of myasthenia gravis during pregnancy. Neurology. 1999 February: 52(3).1-11.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar